Ketika Minke dan Ontosoroh Memperjuangkan Kemerdekaan


 

 Peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia ke 74  disemarakkan dengan kehadiran film nasional bergenre perjuangan.  Film “Bumi Manusia” besutan sutradara Hanung Bramantyo mewakilinya. Film yang diangkat berdasarkan novel dengan judul yang sama karya Pramoedya Ananta Tour tersebut bernafaskan perjuangan bangsa pribumi (Indonesia) pada saat itu untuk memperjuangkan kemerdekaan dari penjajah Belanda.

Film berdurasi hampir tiga jam ini mulai diputar di bioskop di seluruh Indonesia sejak Kamis (15/8).  Tokoh utama dalam film tersebut yaitu Minke dan Nyai Ontosoroh masing-masing diperankan oleh Iqbal Ramadhan dan Sha Ine Febriyanti.  Keduanya ditonjolkan dalam film tersebut sebagai dua sosok pribumi yang memperjuangkan kemerdekaan.

Minke adalah seorang pemuda pribumi yang berkesempatan sekolah di Hogere Burher School (HBS), sekolah menengah umum  untuk anak-anak Belanda dan priyayi. Minke merupakan pemuda yang cerdas dan berpikir modern serta menjunjung kebebasan.  Walau dia sempat mendapatkan diskriminasi saat bersekolah di HBS.

 Persoalan muncul ketika Minke jatuh hati pada Annelies (Mawar Eva De Jongh), gadis  peranakan Belanda anak dari Herman Mellema yang merupakan orang Belanda dengan gundiknya bernama Nyai Ontosoroh.  Herman yang sempat melihat  Minke bersama Annelies langsung marah dan  mengusir Minke.

Sikap sang ayah membuat Annelies dan Nyai Ontosoroh tak terima. Keduanya merasa bahwa tidak boleh ada diskriminasi. Bahkan ibu dan anak tersebut merasa mereka adalah pribumi.  Mereka menganggap diskriminasi  tak  boleh dilakukan.  “ Seseorang yang terpelajar harus adil sejak dalam pikiran,” kata Nyai Ontosoroh saat berbincang dengan Minke yang merasa shock karena diusir Herman Mellema.

Berawal dari kisah cinta tersebut berbagai persoalan antara kaum pribumi dan penjajah Belanda diangkat dalam film tersebut.  Alur ceritanya hampir sama dengan novelnya. Hanya saja Hanung mencoba menggambarkan berbagai konflik yang ada dengan lebih ringan di film tersebut.

Film itu juga menggambarkan dengan jelas pergulatan hati Minke dan Nyai Ontosoroh. Minke merasa dia selalu didiskriminasikan oleh teman-teman sekolahnya yang semuanya adalah Belanda tulen.  Bahkan di film tersebut juga dijelaskan bahwa nama Minke didapatnya dari olok-olok temannya saat memanggilnya “ Aku baru tahu kalau nama Minke adalah  sama artinya dengan Monkey (monyet),” kata Minke saat bersama Annelies.

Di lain pihak Nyai Ontosoroh  juga bergulat dengan berbagai macam ungkapan miring yang diberikan padanya. Pasalnya dia adalah istri tidak sah dari Herman Mellema.  Dia sengaja dibawa ayahnya yang bernama Satsrotomo yang memiliki ambisi menjadi juru bayar di perusahaan Herman.

Ontosoroh yang bernama kecil Sanikem dibawa kepada Herman saat dia berusia 14 tahun.  Sastrotomo mempersilakan Herman memperistri anaknya asalkan dia menjadi juru bayar.  Betapa teganya sang ayah mengorbankan anaknya untuk sebuah jabatan.

Selanjutnya Sanikem diperistri Herman. Namun Herman ternyata sangat peduli terhadap Sanikem. Dia mengajari berbagai hal kepada sang istri. Termasuk bahasa Belanda dengan manjemen pengelolaan perusahaan.  Karena itu, Sanikem yang akhirnya berganti nama menjadi Ontsoroh berubah menjadi wanita yang pintar, cerdas, dan suka membaca.

Ontosoroh lalu diserahi tugas mengelola perusahaan pertanian, peternakan sapi dan pabrik susu milik Herman.  Dari hasil perkawinan lahirlah Robert dan Annelies. Namun persoalan muncul karena Herman ternyata tidak menikahi Ontosoroh secara sah. Apalagi Ontosoroh bukan warga Belanda. Maka dia disebut nyai (gundik) dari orang Belanda.

 Dari sinilah konflik dan persoalan terus bermunculan.  Kisah cinta antara Minke dan Annelies mendapatkan banyak tentangan karena kondisi saat itu. Belanda yang menjajah bangsa pribumi menganggap bahwa  percintaan antara kedua bangsa yang berbeda itu ditabukan. “Kowe hanya orang pribumi. Kowe bukan orang Belanda,” kata Herman Mellema kepada Minke.

 Di film tersebut Minke dan Ontosoroh ditampilkan terus berjuang gigih untuk meraih kemerdekaan mereka. Mereka merasa bangsa pribumi adalah pemilik sah negeri. Mereka tak mau diatur oleh Belanda dengan segala diskiriminasinya. Annelies juga lebih suka dianggap sebagai pribumi. “Aku tetap orang pribumi karena ibuku pribumi,” kata Annnelies kepada Minke.

Jika penonton film ini sudah membaca novelnya, tentu tidak sulit mengikuti alur dan tokoh yang muncul di film ini. Berbagai persoalan akhirnya muncul karena adanya diskriminasi Belanda kepada bangsa pribumi.  Semangat perlawanan yang dilakukan Minke dan Ontosoroh menjadi roh bagi film ini .

Ine Febriyanti yang memerankan Ontosoroh tampil mengesankan. Dia mampu menjadi sosok wanita pribumi yang menjadi gundik orang Belanda. Keresahan dan kegelisahan di jiwa Ontosoroh dimainkan dengan baik oleh Ine.  Dialog-dialog lugas keluar dari mulut wanita yang merasa selalu dihinakan.

Iqbal yang memerankan Minke mencoba mengimbangi akting Ine.  Walau sebagian penonton tentu masih terbayang akting Iqbal sebagai tokoh Dilan. Film ini semakin mengesankan rasa nasionalisme dan perjuangan melawan penjajah karena  lagu “Ibu Pertiwi” yang dinyanyikan Iwan Fals bersama Once dan sejumlah penyanyi lain.

Yang membuat kita berkesan, sebelum film dimulai penonton juga diminta berdiri dan menyanyikan Indonesia Raya. Pesan yang kuat yang ingin disampaikan film “Bumi Manusia” adalah bahwa penjajahan membuat bangsa Indonesia menderita. Diskriminasi pendidikan, hukum dan segala sendi kehidupan membuat  kaum pribumi memilih untuk  merdeka.

Soal apakah Hanung mampu membuat film ini sedashyat novelnya, silakan penonton mengintepretasikannya. Yang jelas Hanung sudah berusaha mengangkat novel yang dulu pernah dilarang untuk dibaca ke layar kaca. Sebelumnya Hanung yang pernah menggarap film bergenre perjuangan  masing-masing Kartini (2017), Soekarno (2013) dan Sang Pencerah (2010) paling tidak telah berani melawan dan melakukannya. Seperti dikatakan Ontosoroh kepada Minke, saat Annelies dipaksa pulang ke Belanda. “Kita telah melawan, dengan sebaik-baiknya, dengan sehormat-hormatnya”.

 

 

 

Penulis : Joko Santoso
Editor   : edt