Kabinet Profesional atau Kabinet Kompromi ?


Menjelang pelantikan presiden dan wapres pada 20 Oktober mendatang, panggung politik kita kembali dihiasi manuver politik. Presiden terpilih Jokowi melaksanakan pertemuan dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan juga Ketua Dewan Pembina  Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono.

Pertemuan tersebut memunculkan spekulasi bahwa dua parpol yang menjadi lawan Jokowi di Pilpres 2019 akan bergabung dengan koalisi Jokowi-Maaruf Amin.  Walau secara eksplisit usai pertemuan disampaikan bahwa pertemuan tidak melulu membahas soal kemungkinan jatah kabinet. Namun tudingan bahwa pertemuan itu dilandasi keinginan masuk gerbong pemerintahan.

Prabowo juga melanjutkan gerilya politiknya. Setelah itu dia lalu bertemu dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dan juga Ketua Umum  Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar. Manuver ini semakin mengentalkan dugaan bahwa Gerindra siap berlabuh ke koalisi pemerintah.

Salah satunya tentu melalui kemungkinan masuknya kader Gerindra di Kabinet Jokowi.  Pertanyaan yang mengemuka melihat fenomena  tersebut adalah apakah nantinya Jokowi akan menjadikan kabinet di pemerintahannya yang kedua menjadi kabinet kompromi?

Jika kita menengok ke belakang, setelah memenangkan Pilpres tahun 2014 Jokowi  menjadikan kabinetnya menjadi kabinet professional. Terbukti dari 34 menteri yang ada, sebanyaj 21 menteri merupakan kalangan professional.  Kendati demikian Jokowi juga menarik sejumlah kader dari Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) dan juga Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang di perhelatan Pilpres 2014 adalah lawan politik.

Di Pemilu 2019, Jokowi yang berpasangan dengan Maaruf Amin berhasil memenangkan kontestasi diharapkan bisa membentuk kabinet yang professional pula. Di masa jabatannya yang kedua ini  Jokowi juga diharapkan bisa menyusun kabinet tanpa tersandera kepentingan partai-partai politik.

Jika melihat manuver politik yang dilakukan Jokowi dan Prabowo di hari-hari terakhir menjelang pelantikan presiden ini bisa jadi kabinet professional kalah dengan kabinet kompromi. Artinya bisa saja Jokowi akan memborong seluruh kader partai untuk masuk jajaran kabinetnya.

Jika ini terjadi tentu harapan akan munculnya kabinet professional di masa jabatan kedua Jokowi tinggal isapan jempol. Namun bukan berarti kabinet kompromi politik tidak sesuai dengan ekspektasi publik. Bisa saja kader parpol yang masuk di jajaran kabinet merupakan nama –nama yang memang memiliki kapasitas dan mumpuni di bidangnya.

Yang jelas di hari-hari terakhir menjelang pelantikan presiden ini, kita sebagai  rakyat yang berdaulat akan menyaksikan berbagai manuver politik terkait pengisian kursi menteri. Bagi Jokowi tentu politik adalah bagaimana seni mengelola berbagai kepentingan.  Menarik Gerindra masuk ke dalam kabinet tentu merupakan bagian strategi politik. Karena selama ini Gerindra adalah simbol oposisi.

Jokowi dalam berbagai kesempatan  mengatakan bahwa di kabinet Jokowi-Maaruf Amin komposisi menteri adalah 55 persen dari kalangan professional dan 45 persen dari kalangan parpol.  Apakah yang dimaksud 45 persen itu merupakan kader dari parpol yang menjadi lawan politiknya di Pilpres 2019,  ini akan terjawab setelah Jokowi dilantik.

 

Penulis : Joko Santoso
Editor   : edt