KEJUTAN dalam Kabinet Indonesia Maju memang banyak. Tapi, yang paling menyita adalah hadirnya menteri termuda, Nadiem Makarim, untuk posisi yang juga sangat mengejutkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Kejutan itu ada dua. Pertama, Nadiem bukan sosok yang, selama ini, konsern dalam bidang pendidikan. Dia lebih fokus pada bisnis, yang terutama, berkaitan dengan teknologi informasi. Dia merintis start up Go-Jek, setelah sebelumnya juga menjadi orang penting di Lazada. Jadi, ketika dia didapuk menjadi Mendikbud, banyak yang kaget, dan bertanya: tepatkah pilihan itu? Siapkah sosok Nadiem mengarungi ombak deras sekaligus juga belukar dalam sistem pendidikan kita?
Kedua, Nadiem bukan sosok bergelar profesor atau doktor. Dia ''hanya'' lulusan bisnis di Harvard. Dan sebagai Mendikbud, dia harus membawahkan para rektor yang berjubel gelar itu, dengan kemampuan manajerial dan kekakuan birokrasi puluhan tahun. Di sini juga timbul pertanyaan, apakah Nadiem akan mampu meruntuhkan birokrasi itu dan, sekaligus, menundukkan keangkuhan dunia akedemis?
Harus diakui, hadirnya Nadiem memang menunjukkan sebuah ''anomali'', yang sekaligus menjadi tanda bahwa kita memang berada di dalam dan tak bisa menghindar dari zaman anomalitas itu. Inilah masa yang membuat kepakaran tunduk oleh ''suara orang ramai''. Ini juga masa di mana birokrasi dianggap sebagai tali yang harus dipotong. Sistem, kini dibuat bukan semacam labirin yang menyesatkan, tapi menjadi penghubung bagi banyak kepentingan, mempertemukan dan menautkan hal-hal yang, dulunya, sulit terhubung. Itu juga yang selama ini berkelindan dalam sistem pendidikan kita. Ada dunia buku yang carut marut, ada kurikulum yang cantik di teori tapi gagal dalam praktek. Ada puluhan metode yang ramai jadi percakapan dan bahan manis pelatihan tapi tak terpraktikkan di dalam kelas. Atau, zonaisasi yang melalaikan asas keadilan dan kemerataan sekolah untuk siswa.
Nadiem diharapkan membuat hal-hal indah tadi mewujud dalam kenyataan.
Nadiem adalah produk dari sekolah yang bagus, terpola pada tujuan, dan berorientasi pada siswa. Nadiem adalah produk dari kefokusan sekolah pada pemberdayaan anak didik dan kemandirian. Di Harvard dia belajar tentang karakter menjadi pemimpin, meletakkan nasib di pundak sendiri, menjadi pribadi yang matang dan tak kenal menyerah. Sesuatu yang kini didengungkan di sekolah-sekolah sebagai pendidikan karakter.
Nadiem tentu tak bisa sendirian. Dia dengan timnya, yang selama ini sukses mengelola Go-Jek menjadi perusahaan decacorn, yang menjadikan teknologi sebagai jalan keluar, diharapkan mampu mengintegrasikan semua hal di dalam dunia pendidikan menjadi satu sistem yang terkait, terinci, memudahkan. Sehingga guru, juga dosen, tak lagi sibuk mengurus hal-hal yang tak terkait dengan pendidikan dan pengajaran, tapi fokus pada peningkatan kemampuan pribadi untuk anak didik.
Nadiem memang perlu waktu. Dia perlu ringan telinga untuk mendengar dan menelaah secara detail, lalu mengintegrasikannya menjadi sebuah sistem #selaluadajalan dan #takpakailama. Pada Nadiem kita berharap, pada Nadiem kita menanti anak didik dan guru yang ke sekolah dengan wajah berseri-seri.**
Penulis : -
Editor : awl