Indonesia Sudah Berubah

  • Opini Langit Bara Lazuardi

INDONESIA memang telah berubah. Bangsa ini bukan saja aktif ''ngoceh'' di media sosial, tapi juga ternyata juga sangat gemar berbelanja. Bahkan, sebuah penelitian yang dilakukan Perusahaan teknologi e-commerce, SIRCLO menunjukkan rata-rata satu orang konsumen Indonesia dapat berbelanja di marketplace sebanyak 3-5 kali dalam satu bulan, dan menghabiskan hingga 15% dari pendapatan bulanan mereka.
Hasil penelitian yang cukup mencengangkan.

Apalagi, dalam penelitian berjudul Navigating Market Opportunities in Indonesia's E-Commerce SIRCLO   itu juga terungkap bahwa  konsumen online di Jakarta rata-rata berbelanja 2 kali lipat lebih banyak daripada kota-kota lain.

Ini menunjukkan bahwa ''bakar uang'' beberapa marketplace beberapa tahun terakhir sudah mulai menunjukkan hasil. Bakar uang sebagai cara mendidik konsumen agar berani berbelanja --dengan model subsidi mulai diskon besar-besaran sampai gratis ongkir, termasuk membuat hari belanja online nasional-- membuat konsumen jadi bisa mengubah pola konsumsi mereka.  Tak heran jika  Founder dan Chief Executive Officer SIRCLO, Brian Marshal, meyakini bahwa dengan kolaborasi teknologi informasi saat ini, pertumbuhan konsumen akan dapat ditingkatkan, yang dampaknya sangat memengaruhi perkembangan bisnis e-commerce.

Perubahan kedua tak kalah mengejutkan.  Dari transaksi online di atas, telah mulai terjadi perubahan mendasar dalam proses pembayaran. 20 persen konsumen mulai menggunakan dompet digital daripada model transfer antarbank. Padahal, penetrasi dan pengenalan dompet digital terhitung amat muda, maksimal dua tahun lalu. Jadi, penetrasi  itu dianggap luar biasa mengingat angka 20 persen itu hanya selisih 1 persen dari model pembayaran dengan kartu debit/kredit.

Dari penelitian itu juga didapat angka penjualan ritel e-commerce Indonesia diperkirakan mencapai US$ 15 miliar (Rp 210 triliun) pada 2018 dan akan meningkat lebih dari empat kali lipat pada tahun 2022, menyentuh angka US$ 65 miliar (Rp 910 triliun).  Bahkan, prediksi lebih mengejutkan muncul,  ritel online yang tadinya hanya menyumbang 8% penjualan total pada tahun 2018, diprediksi akan menembus 24% di tahun 2022. Industri e-commerce Indonesia juga berkontribusi lebih dari setengah nilai ekonomi digital di tahun 2019 dan diprediksi akan mendominasi sektor digital hingga 60% di tahun 2025.

Nilai kapitalisasi pasar e-commerce pada tahun 2019 mencapai US$21 miliar (Rp 294 triliun), mengalahkan sektor ekonomi digital lain, seperti pariwisata online (US$10 miliar atau Rp 140 triliun) dan industri ride-hailing atau jasa transportasi online (US$6 miliar atau Rp 84 triliun). Nilai ini pun diprediksi akan meningkat hingga US$82 miliar (Rp 1.148 triliun) pada tahun 2025.

Namun, kegembiraan akan prediksi pertumbuhan ekonomi itu harus juga diikuti dengan perbaikan model ''hilirisasi'' e-commerce kita. Jangan sampai model ''bakar uang'' jadi kewajiban. Ini akan membuat konsumen bergerak hanya dari model itu saja, cuma berpindah pada marketplace-nya. Kemudian juga soal logistik. Ketika janji gratis ongkos kirim habis, maka biaya itu akan sangat membebani konsumen. Cara terbaik adalah penerapan zona gudang, dan harus dapat terintegrasi dengan berbagai marketplace. Ini akan membuat gerak logistik jadi cepat dan murah.  Dan yang utama, SDM di bidang ini harus terus ditingkatkan, agar pembeli benar-benar terpuaskan dan percaya.

Indonesia memang sudah berubah.

Penulis : lbl
Editor   : edt