Tiga Bulan, 10 Warga Grobogan Bunuh Diri


Sejumlah anggota Kepolisian Polres Grobogan saat mengevekuasi salahsatu korban bunuh diri dengan cara gantung diri. Foto: Felek Wahyu

PURWODADI - Sebanyak 10 orang warga Grobogan, memilih bunuh diri sebagai jalan pintas mengakhiri masalah yang dihadapi. Tindakan mengakhiri hidup yang dilakukan semua dilakukan ‘dibawah’ tali gantungan.

Kasat Reskrim AKP Eko Adi kepada Wawasan, Selasa (11/4), mengungkapkan, sejak Januari 2017, tercatat 10 kasus bunuh diri dilakukan warga Kabupaten Grobogan. ''Dari catatan di Sat Reskrim, dua kasus bunuh diri dilakukan pada Bulan Januari, Lima kasus terjadi di Bulan Februari, Maret tidak ada kasus dan tiga kasus terjadi pada bulan April,'' urainya.

Yang mengejutkan, dua kasus bunuh diri dengan cara menggantung terjadi selama dua hari berturut-turut pada akhir pekan kemarin. ''Alasan bunuh diri secara pasti tentu dibawa mati oleh korban. Namun, dari hasil penyelidikan diduga alasan ekonomi dan alasan kesehatan. Hal ini diketahui adanya keterangan keluarga maupun catatan yang ditinggalkan oleh korban sebelum melakukan aksi nekat bunuh diri,'' urai Kasat Reskrim.

Dari catatan, kasus gantung diri dilakukan korban di dalam rumah. ''Karena didalam rumah sendiri, jadi tidak ada yang melihat tindakan nekat korban dan tidak sempat diselamatkan. Kebanyakan diketahui setelah kerabat pulang dari kerja diladang atau pulang dari bepergian,'' tambahnya.

Banyaknya kasus bunuh diri di Grobogan, Probowati Tjondronegoro, Psikolog rumahsakit St Elisabet menjelaskan, tindakan mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri seakan bukan menjadi kasus yang perlu mendapat perhatian. Namun, membaca berita sejumlah media kasus bunuh diri belakangan makin banyak.

''Mengakhiri masalah dengan cara bunuh diri seakan lepas dari perhatian. Namun, kasus itu sangat tinggi. Ada polisi nembak diri, ada orang gantung diri malah seakan lagi ‘musim’ mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri. Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah,'' ungkapnya.

Dorongan melakukan tindakan bunuh diri, merupakan puncak dari penarian solusi yang dilakukan. Dimana, karena tidak ada teman yang bisa diajak komunikasi maka orang melakukan dialog dengan diri sendiri. ''Biasanya (korban) sendiri tidak ada teman untuk diajak berdialog. Sehingga korban berdialog dengan diri sendiri tapi belum tentu orang ini gila lho. Karena tidak ada teman baik itu anak, istri, cucu atau tetangga itulah membuat orang berusaha berdialog dengan diri sendiri untuk mencari solusi atas masalah yang dihadapi,'' ungkapnya.

Karena tidak ada teman untuk dialog, maka jiwa menjadi sangat putus asa lantaran tidak ada penyelesaian masalah yang dihadapi. ''Karena tidak ada yang diajak komunikasi, maka memunculkan pikiran sempit yang menyimpulkan seakan dia (korban) orang paling menderita baik karena ekonomi atau penyakit yang diderita. Hal itulah yang memunculkan dorongan melakukan tindakan nekat,'' tambahnya.

Melihat banyaknya kasus bunuh diri, Probowati, berpesan keluarga lebih mengedepankan komunikasi. Dimana, tindakan kecil saling sapa menanyakan kabar atau saling jenguh disela kesibukan diharapkan menjadikan kesempatan bagi warga untuk menuangkan tekanan pikiran yang menghimpit. ''Ada pendampingan harus sadar cari jalan keluar seperti bicara dengan orang lain. Orang dirungoke apa yang menjadi keluhannya atau materi pembicaraannya sudah membantu membebaskan orang dari tekanan. Yang penting keluar masalah yang dihadapi sudah lebih ringan,'' tambahnya.

Penulis :
Editor   : awl