Pilkada dan Pro Kontra Politik Oligarki


Tahapan Pilkada 2020 mulai berlangsung.  Masa pendaftaran bakal calon kepala daerah mulai dilaksanakan di sejumlah parpol.  Di tahapan tersebut muncul sebuaah fenomena menarik. Salah satunya  dengan ikut ambil bagiannya putra presiden Jokowi Gibran Rakabuming Raka.

Gibran begitu dia disapa mengambil dan mengembalikan formulir sebagai bakal calon walikota untuk Pilkada Solo di DPD PDIP Jateng, Kamis (12/12). Sontak saja banyak pihak terhenyak. Munculnya nama Gibran membuat suhu politik internal di PDIP Solo menjadi dinamis.

Jauh hari sebelumnya Ketua DPC PDIP Surakarta FX Hadi Rudyatmo menyampaikan bahwa pihaknya sepakat mengusulkan Achmad Purnomo dan Teguh Prakoso sebagai bakal calon walikota dan bakal calon wakil walikota. Purnomo sebelumnya adalah Wakil Walikota dan Teguh adalah Ketua DPRD Solo.

Namun Gibran melakukan manuver politik dan sempat mendatangi DPP PDIP.  Dia akhirnya juga mendaftarkan diri melalui pintu pendaftaran yang dibuka DPD PDIP Jateng.  Munculnya nama Gibran memang membuat banyak pihak terkejut. Pro dan kontra mewarnainya. Di satu sisi ada yang mengaggap ini bagian upaya memunculkan pemimpin muda, di sisi lain memandang ini bagian dari politik oligarki.

Gibran dianggap maju ke kontestasi Pilkada karena mendompleng popularitas ayahnya.  Lantas mengemuka berbagai pandangan soal politik oligarki yang identik dengan politik dinasti.   Secara umum yang dimaksud politik oligarki adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang oleh kelompok kecil dari masyarakat dibedakan menurut kekayaan, keluarga atau militer.

Presiden Jokowi sendiri menanggapi santai mengenai majunya Gibran ke kontestasi Pilkada Solo. Menurutnya ini sebuah kompetisi. Jadi Gibran mendafar dengan mengikuti mekanisme yang ada. Siapa yang mendapatkan rekomendasi juga akan menjalani serangkaian tahapan. Jadi tidak ada yang diistimewakan. Jokowi membantah dia telah memunculkan dinasti politik.

Ketua DPD PDIP Jateng Bambang Wuryanto juga mengatakan bahwa siapapun boleh mendaftarkan diri dalam kontestasi Pilkada tahun 2020, termasuk di dalamnya Pilkada Solo. Soal kenapa Gibran maju menurutnya itu merupakan hak politik siapapun. Dia menegaskan tidak ada karpet merah untuk Gibran . Soal rekomendasi itu wewenang Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.

Dari wacana tersebut kita tak perlu membabi buta menganggap bahwa ada upaya mengedepankan politik oligarki atau politik dinasti secara subyektif.  Sebelumnya di Indonesia juga banyak politisi yang juga memberikan kesempatan kepada keluarga termasuk anaknya untuk maju di kontestasi politik.

Selama proses tersebut dilakukan secara obyektif dan yang bersangkutan bisa mengemban amanat tersebut tentu bukan sebuah persoalan. Dalam fenomena majunya Gibran dengan mendaftar sebagai bakal calon walikota Solo juga sebaiknya ditanggapi dengan  bijaksana saja.

PDIP sebagai parpol besar tentu memiliki mekanisme baku yang menjadi acuan dalam penjaringan, penyaringan termasuk nantinya penentuan bakal calon kepala daerah dan bakal calon wakil kepala daerah yang akan diusung di Pilkada.

Gibran beserta para pendaftar lainnya untuk akan menjalani mekanisme yang sama. Mereka akan mengikuti tahapan selanjutnya. Soal rekomendasi tentu mempertimbangkan berbagai hal termasuk kapasitas dan kapabilitas termasuk peluang untuk meraih kemenangan.

Munculnya Gibran di kontestasi Pilkada Solo malah membuat dinamis politik di Pilkada 2020. Dia yang identik dengan golongan milenial menjadi daya tarik tersendiri.  Soal rekomendasi, mekanisme masih panjang. Pendaftaran bakal calon kepala daerah juga baru dilaksanakan Juni.  Jadi mari kita nikmati saja dinamika politik di perhelatan Pilkada Serentak 2020.

 

Penulis : Joko Santoso
Editor   : edt