“Saya ingin semua orang merasa bahagia bekerja di Sony. Sungguh sulit bagi perusahaan untuk menggaji Anda yang tidak kami ketahui kontribusinya. Maka segeralah belajar dengan cepat. Jika masih ada yang bertanya-tanya mengenai apakah seharusnya Anda berada di Sony, segeralah angkat kaki.”
Itulah pidato selamat datang yang diucapkan Akio Morita, salah seorang pendiri Sony. Di tahun 80-an, Morita telah menjadi Presiden Komisaris perusahaan korporat Jepang yang telah mendunia, dengan kekayaan senilai $50 miliar. Perusahaan yang dimulai dari sebuah toko kecil tempat perbaikan radio, sisa reruntuhan Perang Dunia II. Ia bersama Masaru Ibuka, seorang insinyur brilian, membangun gagasan besar tentang perusahaan elektronik modern dunia. Ibuka bertanggung jawab atas produk teknisnya, Akio Morita menangani manajemen dan pemasarannya.
Pidato selamat datang itu sengaja diperuntukkan bagi para karyawan baru yang hendak menggantungkan masa depannya di Sony. Morita secara standar harus menyambut hangat para karyawan itu. Dirinya merasa perlu mengemukakan rasa suka cita tersebut secara tulus, agar para karyawan baru merasa disambut dan dibutuhkan.
Fragmen itu menjelaskan, seorang pepimpin harus menegaskan harapan besarnya terhadap generasi baru yang berbondong-bondong datang kepadanya. Itulah sikap berkebudayaan, karena satu sama lain saling jalin-menjalin dan menguatkan. Sebuah perusahaan besar tidak perlu menyembunyikan harapannya, hanya gara-gara ia sudah merasa menjadi besar. Karena yang besar akan berangsur-angsur menjadi kecil jika tidak menjelaskan target dan tujuannya.
Sony memberikan contoh kepada kita akan dua hal. Yang pertama contoh buruk, ketika tahun 1987 secara berani melakukan akuisisi pertamanya di Amerika atas CBS Records dengan harga $2 miliar. Dan yang kedua adalah contoh brilian saat ia membeli Columbia Tri Star Pictures (kini menjadi Sony Pictures) dengan harga fantastis $3,4 miliar pada tahun 1989.
Contoh buruk tidak senantiasa menghasilkan sesuastu yang buruk. Hal ini dialami Sony Corp atas akuisisi CBS Records di tahun 1987. Segalanya berjalan mulus, tidak seperti saat korporat besar itu tekor di kasus produksi Betamax pada tahun 70-an. Contoh buruknya adalah, Sony tidak belajar dengan proses, sehingga mengambil langkah berikutnya dengan “mengambil” Columbia Tri Star Pictures 1989.
Hal-hal baik yang diperlihatkan perusahaan itu terhadap kita ialah sebuah keberanian. Akio Morita mengambil risiko dalam mengakuisisi perusahaan film yang sebelumnya tidak pernah menghasilkan produk laku dan terus-menerus gagal. Lima tahun selepas mengakuisisi Columbia Pictures, Sony Corp mengumumkan proyek filmnya gagal. Namun tim eksekutif perusahaan itu tidak ingin menyerah begitu saja. Tantangan terberat bagi perusahaan yang sedang mengalami kesulitan adalah berperang melawan cita-citanya sendiri.
Dengan melakukan berbagai perbaikan, inovasi gagasan dan merekrut para ahli dari perusahaan lain, Sony Pictures pun memperoleh insight. Satu dua produksi Sony seperti Spider Man, Stuart Little dan Men In Black II, di tahun 2002 membawa angin segar. Di saat itulah perusahaan yang mula-mula disumirkan sebagai “abal-abal,” berangsur menjadi perusahaan film yang punya kekuatan. Lihatlah kini, Sony Pictures telah memunculkan barometer produksi film berkualitas. Film-film seperti The Interview (2014), Hotel Transylvania 2 (2015), Money Monster (2016), Ghostbusters (2016), The Magnificent Seven (2016) dan Inferno (2016) adalah karya membanggakan yang kini menjadi mesin uang.
“Not from the Brain”
Sebenarnya ini adalah sebuah kisah kebudayaan. Bagaimana perusahaan dibangun dari impian dan persahabatan, komitmen dan target capaian. Gagasan besar yang mula-mula hanya harapan, akhirnya terwujud karena kesepakatan yang tidak dilanggar. Segala yang melingkari kejujuran dan kesepakatan berarti keberadaban, sedangkan beradab itu sendiri adalah kebudayaan.
Sony Corps adalah perusahaan dunia yang dibangun dari puing-puing kepedihan. Bayangkan, paska Perang Dunia II, sebuah toko reparasi radio yang kecil dan dua orang (Akio Morita dan Masaru Ibuka) yang gelisah atas mimpinya. Mengenai kepedihan itu sendiri, boleh kita ingat Leodardo da Vinci yang menuliskan, “Air mata itu datangnya dari hati, not from the brain.”
Sony mencoba membangun kebudayaan bisnis yang tegas, berhasrat, bertanggung jawab sekaligus penuh kelembutan. Bisnis tidak selalu sebuah keuntungan, bahkan kerugian pun akan menjadi bagian dari proses capaian. Orang-orang yang berada di perusahaan seyogianya memiliki tanggung jawab, ia tidak bersembunyi di balik laporan.
Bayangkanlah jika ini dalam sebuah adegan film, dimana Akio Morita dan Masaru Ibuka, dua pimpinan besar Sony, tengah “tertuduh” karena kerugian perusahaannya. Adegan seperti apakah agar tergambar budaya “tertuduh” bagi the big boss di negeri kita?
Kisah yang sangat menginspirasi dan menjadi tauladan. Bukan saja tentang sukses yang dirayakan, melainkan tentang bagaimana caranya mengatasi kesulitan. Satire ini memang pahit, namun sangat bervitamin bagi akal sehat kita.
Penulis :
Editor :