Mari Mengimami Kata-kata!

  • Opini Langit Bara-Lazuardi

Jangan pernah remehkan kata-kata. Itulah yang dikatakan dan diyakini Anies Basweidan. Gubernur DKI Jakarta itu menegaskan bahwa kata-kata amat penting. Media adalah bukti bahwa kata-kata penting, narasi utama. Dan orang banyak yang dapat digerakkan dan percaya pada sesuatu karena kata-kata.

Kata-kata memang penting. Tapi di ujung semua kata-kata, aksi harus menjadi tujuannya. Tapi, tidak bisa juga aksi, kerja, terjadi tanpa didahului oleh narasi.

Dalam bahasa mantan Rektor Universitas Paramadina itu, narasi akan melahirkan interaksi, yang lalu melahirkan lagi inspirasi. Dan dari situlah aksi-aksi dapat dilakukan.

Kata-kata memang punya kuasa. Kita tahu itu. Kita juga menyadari bahwa inilah abad yang digerakkan oleh narasi, kekuatan bahasa dan kedigdayaan diksi.

Inilah era orang menghargai narasi lebih dari sebelumnya. Dengan teks, visual, dan intonasi, sebuah narasi akan membangun sebuah dunia imaji yang tak terbayangkan kuatnya. Dan ketika imaji ini berhasil menjadi rimbunan ''keinginan'' banyak orang, maka gerakan pun akan terjadi.

Kita tahu, Jokowi menjadi seperti sekarang ini karena kekuatan narasi.

Kita sadar, Susi Pudjiastuti menjadi begitu ''membumi'' juga karena kedigdayaan narasi.

Kita tak bisa mengingkari, ada suatu masa Susilo Bambang Yudhoyono menjadi begitu memesona juga karena kemampuannya membangun cerita tentang dirinya.

Kita ingat, Greta dari Swedia, yang karena kata-kata di tembok, berhasil menggerakkan dunia untuk mengubah cara pandang pada kelestarian lingkungan. Greta adalah remaja yang memahami kekuatan kata-kata, dan mengubah dunia.

Di sini, kita punya Atta Halilintar, yang juga mendayakan narasi untuk mengubah... dirinya dan ekonominya.

Kata-kata punya kuasa. Dan karena itu, kata-kata, narasi itu, juga memiliki potensi berbahaya.

Tentu, jika dia didayagunakan untuk merajut kenyataan baru yang sebenarnya menghindari atau bahkan mengingkari fakta yang sebenarnya. Atau, didayagunakan untuk membungkus sesuatu yang sebenarnya tidak seindah aslinya. Di sini, kata-kata melahirkan imaji, yang ilusif.

Tapi tentu, kata-kata, seperti apapun juga di dunia ini, selalu punya masa kadaluarsa. Kata-kata memang memesona, tapi dia tidak abadi. Kata-kata seperti kerja hipnosa, orang tidak bisa ''taksadar'' selamanya. Karena itulah, harus ada kerja di balik kata-kata, harus ada prestasi, harus ada wujud nyata. Kata-kata yang tak menjadi kerja, yang tak  memberikan dampak pada orang banyak, hanyalah gelembung udara saja. Kata-kata harus menjadi energi dari kerja, harus menjadi oksigen dari gerakan kemaslahatan bersama. Di situlah kata-kata menjadi budaya, menjadi sesuatu yang memaksa kita berkeringat, dan punya daya cipta.

Dan visualisasi terbaik dari kata-kata adalah kerja!**

 

Penulis : lbl
Editor   : edt