Saya teringat di kisaran tengah tahun menjelang akhir dekade 2000an, tepatnya pada tahun 2007 Fade to Black & Bondan Prakoso melepaskan sebuah lagu di pasaran yang mereka sebut dengan Kroncong Protol. Tidak salah mereka menyebut demikian, mereka memang memainkan lagu keroncong akan tetapi nyempal atau berbelok dari rel standar keroncong yang sudah dimainkan secara baku sejak dahulu kala. Musik keroncong mereka ini dimainkan secara konsisten namun kolaboratif. Saya membayangkan mereka melontarkan gurauan ketika akhirnya menemukan judul lagu, “Nembange kroncong tapi kok protol...” (Nyanyi sih keroncong, tapi kok protol). Protol adalah Bahasa Jawa yang berarti lepas. Sebagai salah satu contoh saja, bayangkanlah segerombol buah anggur, kemudian beberapa buahnya jatuh terlepas dari gerombolannya. Begitulah kira-kira makna protol. Jadi bisa dipahami ini keroncong yang lepas dari rantai pakem.
Kalau anda mungkin lupa, cobalah menonton kembali video klip mereka. Di klip tersebut dapat ditemukan begitu banyak nuansa. Keroncong tentu saja dijadikan unsur utama sepanjang lagu berputar, walaupun bukan satu-satunya. Kita bisa menemukan perpaduan keroncong, hiphop, alternatif rock, rap, pop, alunan seruling khas Sunda, diksi kekinian yang bertaut dengan lirik dalam Bahasa Jawa, serta beragam distorsi teriakan ala anak punk yang kesemuanya diselaraskan dalam lagu. Yang disuarakan adalah keresahan jiwa secara kreatif ala anak muda.
Mati Segan – Hidup Mau Bagaimana
Mau diakui atau tidak, musik keroncong semakin bertambah masa menjadi ‘mati segan hidup tak mau’, apalagi pasar dengarnya juga semakin sempit. Dengan keadaan ini bukan berarti tidak ada yang peduli. Pecahnya lagu Keroncong Protol oleh Fade to Black & Bondan hanyalah ujung gunung es dari segala tarik ulur genre keroncong. Sebagian golongan orang ingin keroncong dengan pakem klasik, sementara lainnya menginginkan keroncong ke permukaan dengan tampilan berbeda.
Keresahan inipun dirasakan semakin hebat oleh sekelompok orang yang peduli dengan keberadaan keroncong di Semarang. Keresahan yang dibarengi dengan kesadaran bahwa masa terus bergulir, karenanya tidak ada sesuatu apapun yang bisa bertahan bila tidak dapat menyesuaikan diri dengan gelombang jaman. Hingga munculah sebuah upaya agar keroncong lestari, setidaknya di Semarang. Acara yang diberi tajuk “Sing Penting Keroncong” kini sudah bertahan cukup kuat dengan pasar yang jelas walaupun tidak besar seperti acara musik lain. Bersama dengan RRI Semarang, De Whaunks secara mandiri menggeber panggung keroncong di Semarang. Mereka konsisten berjalan dengan segala kesulitan yang ada hingga kini sudah berlangsung tanpa putus selama lebih dari setahun.
Idealisme penyelenggara untuk terus menggaungkan keroncong dan mewadahi segala jenis aliran di dalamnya, termasuk genre sempalan macam congrok atau juga keroncong jazz, tentu patut diapresiasi. Di gelaran panggung bulanan ini semua boleh maju, asalkan keroncong. Lagu-lagunya pun tidak melulu lagu lama dari sekian puluh tahun lalu, akan tetapi juga lagu terkini yang dikenal anak muda boleh berkeroncong ria. Yang tampil mulai dari orkes keroncong partikelir amatir hingga orkes keroncong profesional. Mulai dari orkes keroncong yang dibawakan anak SMP secara serius, komunitas Waroeng Kerontjong, hingga artis penyanyi skala nasional macam Anji dan Faridz RM juga pernah mendukung turut tampil di panggung “Sing Penting Keroncong”. Penonton yang tidak mengenali Sundari Sukotjo pun pada akhirnya bisa menikmati keroncong karena adanya kebaruan nuansa tersebut.
Salah seorang panitia, Rizky, bercerita bahwa perhelatan keroncong ini dimulai dari gerak independen, nir sponsor, patungan dana dengan saweran bumbung (celengan bambu), penonton sekedarnya, penampil seadanya, ditelateni pelan-pelan mulai April 2016 hingga kini Oktober 2017 sudah berjalan 16 episode. Ia dan seluruh panitia memiliki keinginan bahwa para penikmat musik masa kini, bila belum memahami perjuangan yang mereka kerjakan, setidaknya bisa menikmati musik keroncong yang tersaji. “Mengajak artis yang dikenali masyarakat secara luas, seperti Yuka Indonesian Idol yang akan tampil pada malam tanggal 11 Oktober ini, menjadi jalan lain bagi kami untuk mendekatkan keroncong pada penikmat yang lebih luas,” pungkasnya.
*Asrida Ulinuha,- Ibu rumah tangga paruh waktu, mantan penyiar radio, mantan jurnalis, mantan penari, coffee geek, dan local guide independent
Penulis : au
Editor :