Membuat Waktu Seakan Berhenti


''Yakinlah, nanti kita akan malas untuk beranjak. Di situ, kita merasa terpisah dari dunia.'' Itulah yang dikatakan sahabat kami, Ardi Wisanggeni, sesaat sebelum sampai ke Big Box, pujasera dan juga angkringan. Tentu, ada nada bombastis dari kalimatnya. Terpisah dari dunia? Apakah Big Box begitu terisolasi, sehingga kami bisa abai dari segala? Nggak mungkin, kan?

Dan, ketika sampai ke lokasi, di Pleburan Barat 1, kami menemukan suasana yang cukup lengang. Jam memang masih menunjukkan pukul 16.30, saat angkringan baru saja ''membuka diri'', dan makanan masih gagah-gagahnya tersaji. Beberapa pengunjung tampak berbicara riuh, tertawa, dan tentu, berselfie ria, tersebar di bebarapa pujasera, di halaman yang luas itu. Di angkringan, hanya kami temukan sejoli, tertawa intim di depan ponsel mereka, barangkali menunggu makanan yang tengah dipanggang.

Ya, di angkringan ini, setelah kita selesai memilih jenis nasi kucingan dan lauk, dan lalu membayar, kita dapat meminta untuk dipanggang. Dan bau nasi yang terpapar panggangan daun pisang itu memang menambah selera. Apalagi, di sini harga tidak terbilang mahal, masih ''merujuk'' kantong mahasiswa, berkisar Rp 3000 - 5000 untuk nasi/bungkus dan aneka sate. Sedangkan gorengan dipatok Rp 1500. Harga minuman pun terbilang ''irit''. Pokoknya, nggak akan memuat kantong kusut.

Tapi tentu, yang dijual angkringan ini bukan makanan semata. Jika semata kucingan, tentu mudah ditemukan di sekeliling kota ini, termasuk yang ''elit'' di beberapa tempat. Ardi menyebut ''malas beranjak'' sebagai nilai lebih angkringan ini. Dan kami memang membuktikannya. Sepanjang sore itu, meski berbagai pengunjung mulai datang, ada ritme yang terasa pas: semua orang tak terlihat tergesa. Beberapa pasangan bahkan terlihat berfoto dulu sebelum menuju meja makanan. Tak ada percakapan dengan keras, yang tampak adalah keintiman, tawa-tawa yang menerbitkan kenyamanan. Mungkin benar kata Ardi tadi, begitu duduk di sini, pengunjung tanpa sadar memberi atau mendapatkan atmosfir baru, menanggalkan hidup yang riuh dan serba cepat.

Bagi kami sendiri, di Big Box, waktu terasa melambat.

''Iya sih. Saya di sini lebih utama menikmati suasana saja. Makan ya sekedarnya, maklum perempuan, takut gemuk, hahaha...'' aku Astri, mahasiswa UPGRIS yang kami temui sore itu, bersama dua temannya. Dia cuma memesan sebungkus nasi dan dua gorengan plus setusuk sate. Dua temannya pun tak jauh berbeda. Sedangkan minuman, mereka memesan es jeruk porsi besar, yang mereka nikmati bertiga.

''Nggak tahu ya, kalau makan di sini rasanya ceria aja, maunya ketawa-ketawa,'' tambah Astri.

Iwan, yang baru kali pertama datang ke Big Box menuturkan hal yang nyaris senada. Pegawai BRI dari Kudus itu dipilihkan angkringan itu ketika bertanya ke temannya untuk tempat bersantai yang dekat dengan pusat kota. ''Kebutuhan utama saya sebenarnya tempat untuk bicara dengan nyaman. Makanan faktor kedua. Nah, saya menemukan di sini. Nggak gaduh, nggak riuh. Cocok untuk transit, sebelum kembali ke rutinitas,'' katanya.

Ya, Iwan mengatakan hal yang tepat. Angkringan Big Box memang tepat jika dinyatakan sebagai tempat transit, dari kesibukan, dan keriuhan. Di sini, kita memang menjadi tuan, mengukur sendiri porsi makan, mengatur sendiri jumlah pengeluaran, dan bisa sebebasnya menyesap ketenangan: waktu yang terasa melambat.

''Ngomong-ngomong, pada denger nggak suara azan?'' Suara Ardi mengingatkan kami. Ha? Padahal baru saknyet, rasanya. Tapi ternyata, sudah 1,5 jam kami di sini. Sungguh tak terasa.

Penulis :
Editor   : awl