Dan Telah Kuciptakan Neraka untuk Anak-anak


Semula, keinginanku cuma satu, ingin memberikan "pelindung" kepada anak-anakku. Dengan segala kesibukan, waktuku memang sering tak banyak dengan mereka, dan kehadiran seorang perempuan di rumah, barangkali bisa memecahkan masalah itu. Nyatanya, aku seperti membawa "setan" dari dalam neraka, dan memerangkapkan seluruh keluargaku dalan persengketaan yang tak ada habisnya. Aku menciptakan neraka di hari tuaku sendiri.

Aku biasa dipanggil Pak Karman (51), PNS, dan kini berusaha membuka bengkel dengan tiga pegawai. Ini usaha yang memang telah aku siapkan untuk menyongsong masa pensiunku. Karena itulah, sejak 10 tahun lalu, hari-hari kuisi dengan mencari modal usaha, untuk mempersiapkan masa pensiun. Bukan apa-apa, dengan 4 orang anak yang belum semuanya mentas, aku memang harus memutar otak membiayai mereka. Anak pertamaku Ridwan (26) telah menikah dan memberikan satu cucu untukku. Anak kedua Yanto (24), sudah tamat dari kuliahnya, meski belum bekerja. Sedangkan yang ketiga Putri (22) dan Ratna (20) masih kuliah, satu di Solo dan satu di Yogya. Oh ya, kami tinggal di kota batik, meski tidak persis di pusat kotanya.

Lima tahun lalu, istriku, Maemunah, meninggal dunia. Kehilangan yang luar biasa bagiku. Duniaku gelap setelah dia tiada. Apalagi, kusadari kemudian, betapa selama ini aku amat tergantung padanya. Semua urusan rumah, istriku yang mengendalikan. Dan setelah dia tiada, aku seperti orang yang tanpa tangan, tak tahu harus berbuat apa. Dengan anak-anak ternyata aku kurang dekat. Pelan-pelan aku pun mencoba melatih komunikasi, biar akrab. Dan kembali kusadari hebatnya istriku. Ternyata, kebutuhan rumah luar biasa besar, dan tak pernah kubayangkan, bagaimana istriku mengelola sehingga uang yang selama ini aku berikan selalu cukup. Padahal, setelah dia tiada, aku begitu kelimpungan untuk memenuhi tuntutan anak-anak hanya untuk uang sekolah mereka saja, dan biaya hidup.

Dalam kegamangan itulah, aku kenal dengan Lastri (39), seorang janda beranak 2. Entah kenapa, hubungan kami berlangsung cepat, seakan saling tahu. Dia yang punya usaha peminjamam mobil, sering mampir ke bengkelku. Dan, hanya berkenalan 6 bulan, aku melamarnya.

Sebelumnya, aku memang telah membicarakan dengan anak-anak. Dua tidak setuju, Ridwan dan Yanto, sedangkan dua anak perempuanku hanya menurut keinginanku saja. Aku pun menjelaskan niatanku, yang ingin memiliki "manager" di rumah, agar semua ada yang mengatur. Agar tidak lagi terjadi kepanikan karena aku yang jarang di rumah, dan anak-anak yang butuh denganku. Mereka tetap bergeming. Aku pun tetap pada keputusan, menikah.

Aku percaya, Lastri wanita dan calon ibu yang baik. Aku percaya, anak-anak akan lebih baik dengan kehadirannya. Bahwa kecugiraan Ridwan dan Yanto tak beralasan.

Dan benarlah, semua rencanaku berjalan sempurna. Lastri ibu yang baik dan sangat perhatian. Setidaknya, itu yang terjadi dalam 4 bulan pertama. Hidupku berjalan indah, anak-anak punya teman bicara, terutama dua gadisku, dan mereka cepat akrab dengan dua saudara tirinya, Marzuki (18) dan Dana (12). Hanya Ridwan dan Yanto yang tidak begitu akrab, dan memilih sibuk daripada ngobrol dengan ibu baru mereka. Tapi aku percaya, pelan dan pasti, semua akan kembali ke jalurnya.

Namun, kepastian itu nyatanya tak pernah datang. Memasuki bulan keenam, mulai timbul kericuhan. Aku menyadari, Ratna sudah tidak pulang selama tiga bulan. Maka, kususul dia ke Yogya bersama Yanto. Dan, mau menangis aku rasanya, menemukan anak terkecilku itu tengah bekerja di sebuah kafe. Dia kaget waktu aku sampai ke sana. Dan, setelah malam, baru kami bisa bicara. Ratna ternyata terpaksa bekerja untuk membayar uang sekolahnya. Dan dia tidak berani meminta ke aku, karena tahu pasti uang itu sudah aku serahkan kepada Lastri. Dan, cerita Ratna, ketika dia meminta ke Lastri, istriku itu mengatakan, "Jangankan untuk kuliahmu, untuk makan saja, Ayahmu masih berutang pada Ibu." Ya Tuhan... benarkah hal itu?

Aku ragu. Rasanya mustahil Lastri mengatakan itu. Tapi, dengan menangis, Ratna memintaku untuk datang ke Putri di Solo. Dan sewaktu aku datang, tangisku kali ini benar-benar tumpah. Putri ternyata sudah pindah kos. Dia yang dulunya ngekos di satu kamar lengkap dengan semuanya --ada teve, kompo, dan meja gambar-- kini sudah pindah, ke sebuah kamar sempit, berdua, dan tak lagi punya apa-apa.

"Teve dan tape Putri jual, Yah. Lagian, lebih baik begitu daripada menunda uang kuliah yang tinggal satu semester lagi," ceritanya.

Dia tidak menyalahkanku, atau Lastri. Dia juga tidak menangis seperti Ratna.

"Itu Ibu pilihan Ayah. Sepanjang Ayah bahagia, Putri dapat mengerti kok," katanya.

Kata-kata Putri inilah yang membuat aku memeluknya, menangis dan meminta maaf. Ya Tuhan..., anakku ternyata lebih bijak daripada diriku sendiri.

Dan ketika aku kembali ke rumah, kutanyakan hal itu kepada Lastri. Benarlah, aku salah pilih. Dengan rileks, perempuan yang kepadanya kupercayakan anak-anakku, menjawab, "Apa Mas tidak malu kalau anak-anakmu makan dari uang hasil keringatku? Kalau tidak malu, ya tidak apa-apa, aku ikhlas saja. Tapi ingat ya, aku tidak pernah memberi makan dua anakku dari hasil keringat Mas."

Bayangkan, seperti disambar petir aku dengan semua kenyataan ini. Lastri sanggup mengatakan hal itu? Dia sudah membuat demarkasi antara uangku dan uangnya, anakku dan anakknya. Padahal, bukankah dulu dia yang berjanji akan menerima apa pun keadaanku, dan tidak membedakan anak-anak bawaan kami.

Dan, kami pun bertengkar. Setelah itu, kami pisah ranjang. Dia bersama anak-anaknya di kamar depan, dan aku sendirian. Dua minggu tanpa percakapan. Uang belanja yang aku letakkan tak diambil. Kepada pembantu, dia berkata, "Aku dapat makan tanpa mengemis dari suamiku..." Aku cuma mengelus dada.

Ridwan dan Yanto ingin aku menceraikan Lastri. Tapi aku tidak siap. Ini istri pilihanku, dan kupilih meskipun keluarga besar menolak, terutama keluarga almarhum istri. Kalau aku ceraikan, apa kata orang? Bukankah aku hanya jadi bahan ejekan saja, cemooh? Tapi, jika tidak, bagaimana dengan anak-anakku, yang memilih tidak di rumah daripada bertemu dengan "ibunya".

Kini, telah setahun aku hidup dalam neraka ini. Dan berkali-kali Lastri "menantang" untuk aku ceraikan. Tapi, keraguan selalu mengiringiku. Bagaimanapun, aku masih ingin dihormati para tetangga. Apalagi, meski "rusak" di dalam, di luaran kami masih tetap menjaga "keharmonisan". Cuma, anak-anak saja yang membuatku kian lama kian menderita, karena telah menghadirkan neraka dalam kehidupan mereka. Ahhh... aku tak tahu harus bagaimana menghadapi ini, justru di hari tuaku.

--sebagaimana dikisahkan Karman kepada Aulia A Muhammad--

Penulis : Administrator