Pernyataan kontroversial Komisioner KPAI Sitti Hikmawatty soal kemungkinan perempuan hamil di kolam renang yang ada laki-lakinya berbuntut panjang. Banyak yang mempertanyakan dan menyayangkan pendapat itu. Apalagi, Sitti bergelar mentereng, seorang doktor, dengan ragam aktivitas yang juga 'mencengangkan'. Jadi, agak aneh ketika mengeluarkan pendapat yang secara ilmiah sangat tidak terbukti.
Karena pendapatnya itu, meme pun bertebaran di media sosial. Sitti mendapat banyak ''ejekan'', dan juga ''dukungan'', dalam bentuk pelebaran dari pernyataannya. Bahkan muncul pejndapat bahwa kehamilan pun bisa terjadi karena ''pertukaran'' di udara, bukan hanya di air. Hahaha...
Buntut yang lebih panjang, kini muncul tagar #PecatSittiHikmawatty bergema di Twitter, bahkan di puncak trending. Tapi tentu, memintanya dipecat adalah hal yang ''terlalu jauh'', karena secara aturan belum memenuhi syarat untuk dilakukan.
Tapi, negara ini memang belum lelah karena pendapat yang tak matang lahir dari pejabat negara. Sebelumnya, kita riuh oleh opini bahwa agama adalah musuh Pancasila. Lalu, opini untuk mengganti ucapan salam dengan Salam Pancasila. Lalu, fatwa agar yang kaya menikahi yang miskin. Dan yang lebih lucu, anjuran bahwa pasangan yang menikah harus saling mencintai dalam rancangan undang-undang ketahanan keluarga.
Kita panen pendapat yang ''ajaib'', yang memancing keriuhan, yang sebenarnya tidak produktif untuk kehidupan berbangsa. Pendapat-pendapat ini membuat kita bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya kualitas para pejabat tersebut dalam memahami ''logika publik'' dan sekaligus ''logika ilmiah''. Di era ketika pendapat demikian mudah dicarikan landasan ilmiahnya, seharusnya para pejabat itu dapat mencari landasan dulu sebelum mengeluarkan opini. Sehingga tidak muncul keriuhan yang memancing kerumunan opini yang kontraproduktif.
Memang, pada akhirnya akan kembali pada pernyataan permintaan maaf dan menarik pernyataan itu. Atau, pernyataan itu adalah pendapat pribadi. Sesuatu yang sebenarnya tidak memecahkan substansi dari logika pikir yang ''salah''. Apalagi, jika ditelisik ke belakang, terlihat ada benang merah yang bisa disimpulkan dari peramu ''pendapat aneh'' itu.
Tak heran jika kemudian banyak yang menilai ada agenda terselubung dari pendapat-pendapat itu. Undang-undang ketahanan keluarga, dan juga opini dari Sitti, adalah wujud dari perspertif untuk melindungi perempuan, tapi dengan tolok ukur yang tak tepat. Dengan opini dan aturan itu, kita dapat melihat bahwa ada upaya untuk kembali menempatkan perempuan pada domain domestik, dan menghalangi mereka untuk lebih luas berkiprah di ruang publik, kecuali dalam ruang yang ''terukur''. Jika memang itu yang terjadi, maka posisi perempuan akan kembali ke masa puluhan tahun silam, untuk semaca-mata menjadi abdi dari lelaki atau suami.
Di titik inlah kita harus jeli, dan terus ''melawan'' opini yang mencoba mendomestifikasikan perempuan. Kartini sudah berjuang, dan kita sudah merasakan manfaatnya. Kesetaraan itu sudah mulai membuahkan hasil, dan harus terus ditingkatkan. Kita tentu tak ingin mendiami era habis terang muncullah gelap.**
Penulis : -
Editor : edt