Menikmati Kartini 2 Versi


Sebuah film kembali menarik perhatian saya, garapan Hanung Bramantyo bertajuk Kartini. Film Indonesia yang, tentu, bukan film popular. Tapi saya toh bukan penikmat film popular. Apa yang membuat saya ngotot untuk menonton film ini di hari pertama jadwalnya muncul di Semarang? Tentu saja judulnya. Satu nama yang sangat kuat untuk setiap perempuan waras di negeri ini.

Apa yang ada di pikiran Anda ketika mendengar nama singkat yang sangat Jawa itu? Mungkin sama dengan saya. Seorang perempuan berwajah bulat dengan sanggul cepol khas Jawa dan kebaya seperti yang ada di buku-buku sejarah. Perempuan yang menentang tradisi pingitan, mendorong perempuan untuk belajar, dan memberdayakan perempuan di sekitarnya. Lalu apa? Saya pribadi tidak mempelajarinya lebih banyak. Karena pengetahuan yang sedikit itu juga saya ingin menonton film ini.

Seperti yang sudah diperkirakan, film ini berkisah tentang seorang putri bupati Jepara yang berasal dari Mayong. Putri bangsawan cerdas dengan wawasan luas yang banyak mempertanyakan hal-hal di sekitarnya. Seorang putri yang memaksa membuka akses ke dunia di luar dinding kamar pingitannya. Seorang putri yang didukung penuh oleh kakaknya, RM Kartono, untuk melampaui batasan-batasannya dengan begitu banyak buku. Seorang putri yang membuka jalan bagi rakyatnya untuk mendapatkan kesejahteraan yang nyata. Seorang putri yang, meski pada akhirnya, menjadi Raden Ayu, dia lakukan itu dengan keputusannya sendiri. Berapa banyak perempuan di zamannya yang bisa melakukan itu? Bagi saya pribadi, di situlah dia memberikan inspirasi.

Seperti biasa, saya menikmati karya-karya Hanung Bramantyo. Beberapa film arahannya membuat saya cukup terpesona meski belum sampai jatuh cinta. Khusus untuk kisah-kisah tokoh terkenal, sepertinya sutradara satu ini mencoba untuk melihat tokoh tersebut dari sisi yang lain. Sisi yang mungkin tak banyak diketahui khalayak. Demikian juga dengan film Kartini. Seingat saya, cerita tentang RA Kartini pernah juga dibintangi Jenny Rachman dan digarap oleh Sjumandjaja. Dan suka tidak suka, saya penasaran juga dengan versi lama film ini. Mau tak mau, perbandingan itu muncul dan saya masih tetap menyukai garapan Hanung. Tapi mungkin preference ini karena faktor usia juga.

Film Kartini versi Hanung bagi saya lebih membumi. Lebih manusiawi. Kartini kecil memberontak ketika dipisahkan dengan ibu kandungnya. Bakat pemberontakan ini terlihat. Terasa natural ketika seorang anak tidak puas dengan jawaban atas pertanyaannya kemudian menjadi keras kepala. Kartini kecil versi Sjumandjaja bagi saya terlalu halus, terlalu mriyayeni . Sama-sama penuh keingintahuan dan rasa penasaran. Tapi berbeda rasa. Meskipun penentangan atas tradisi pingitan justru lebih terasa di garapan Sjumandjaya, tapi perlompatan adegan hingga sang putri lepas dari tradisi itu justru terlalu cepat. Untuk kacamata saya yang awam, kenikmatan alur menjadi sedikit terganggu.

Jika Kartini versi Sjumandjaja adalah karakter kecerdasan dan keingintahuan yang halus, maka Kartini versi Hanung lebih menggairahkan, lebih hidup, dan lebih nakal. Kartini milik Dian Sastro terasa lebih ekspresif.  Wajah Jenny Rachman di Kartini versi Sjumandjaja terlalu dingin. Perbedaan akting ini demikian mencolok hingga saya sendiri juga sebenarnya tidak yakin bagaimana karakter RA Kartini yang sebenarnya. Kehidupan Kartini versi Hanung juga lebih dramatis. Pengorbanan Ngasirah, ibu kandung Kartini, kecemburuan Raden Ayu Moeryam, dan kebimbangan Raden Mas Aryo Sosroningrat menghadirkan konflik dan drama yang layak untuk dinikmati. Konflik dan drama yang membuat penonton memahami pembentukan karakter sosok Kartini yang ingin digambarkan Hanung. Sayangnya dukungan Raden Mas Kartono sebagai kakak yang membuka jalan wawasan Kartini justru lebih tampak digarapan Sjumandjaja.

Ada dua hal yang menurut saya mengganggu imajinasi saya atas keseluruhan film ini. Yang pertama adalah tempat-tempat yang dipakai untuk pengambilan gambar. Bagaimanapun, meski sama-sama di pulau Jawa, tapi Yogja dan Jepara punya pantai yang berbeda, kontur alam yang berbeda, tanah yang berbeda. Bayangkan jika penontonnya orang Yogja atau yang lama di Yogja, dengan mudah mereka akan menemukan tempat-tempat pembuatan film ini. Saya sendiri mengenali setidaknya 2 tempat. Yang kedua adalah closing ketika sosok Kartini digambarkan melamun dengan air mata. Saya tidak berhasil membaca air mata apa yang sebenarnya mengalir itu. Sedihkah karena pada akhirnya menikah? Sedihkah karena berpikir mimpinya kandas? Banggakah karena pada akhirnya beliau mengambil keputusan untuk dirinya sendiri dan memperjuangkan mimpinya? Atau apa?

Apapun itu, film ini worth to watch. Meski tidak membuat jatuh cinta, tapi tetap punya pesonanya sendiri. Selain itu, mengingat pelajaran sejarah secara khusus sudah tidak ada di SD, film ini bisa menjadi referensi belajar yang lain bagi anak-anak kita. Setidaknya menjaga supaya kita punya generasi yang semakin waras.

Penulis :
Editor   : awl