
Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berdiri sepanjang jalur pendakian menuju Puncak Gunung Telomoyo, bak jamur di musim hujan, kondsinya sudah sangat memprihatinkan. Foto ali subchi
MAGELANG, WAWASANCO - Jika tidak segera ditertibkan, menjamurnya Pedagang Kaki Lima (PKL) jalur pendakian Puncak Gunung Telomoyo, sudah sangat memprihatinkan. Keberadaan PKL selain mengganggu arus lalu lintas jalan, juga menyumbang sampah yang dibuang sembarangan, sehingga bisa ancaman terjadinya tanah longsor.
“Tumbahnya PKL yang jualan di pinggir jalan menuju puncak Telomoyo, seperti jamur di musim hujan. Ada sekitar 60 PKL yang mendirikan barak di sepanjang jalan,” ujar Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Desa Pandean, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Wardoyo, Rabu (22/10-2020).
Ramainya pengunjung yang datang ke Puncak Gunung Telomoyo yang berada di dua wilayah, yakni wilayah Kabupaten Magelang dan Kabupaten Semarang itu, menyebabkan masyarakat sekitar mendirikan bangunan dari bamboo dengan atap plastik di sepanjang jalan menuju puncak. Kondisi ini, menyebabkan wisatawan yang datang merasa terganggu.
Apalagi, para pedagang mendirikan bangunan permanen dari bambo tersebut, tidak mengindahkan keamanan. Bahkan mereka ada yang sengaja mengepras tanah yang ada di pinggir jalan untuk membuka warung, kemudian menutup saluran air untuk tempat jualan. “Kalau PKL tidak dilokalisir, bisa menjadi ancaman serius,” jelasnya.
Menurut Wardoyo, penataan PKL di kawasan Puncak Telomoyo, sudah diantisipasi dengan melakukan koordinasi antar LMDH, yakni LMDH Pandean, Ngbalak, Magelang, dengan LMDH Dusun Sidodadi, Desa Sepakung, Kecamatan Bayubiru, Kabupaten Semarang.
“Diharapkan dalam waktu dekat sudah ada solusi, agar kelestarian lingkungan di kawasan Gunung Telomoyo terjaga, terutama terhadap ancaman tanah longsor di musim hujan. PKL akan direlokasi ditempat yang lebih baik,” jelasnya.
Jumlah PKL yang ada saat ini mencapai 60 PKL, mereka membuka lapak disepanjang jalan menuju puncak. Ada yang membuat lapak di pinggir jalan, ada juga yang membuka lapak dengan cara mengepras tanah, serta mendirikan lapak di setiap tikungan yang terdapat lahan kosong.
“Yang memprihatinkan, mereka membuat tempat dengan cara menguruk tanah, padahal itu sangat membahayakan terjadinya ancaman tanah longsor. Sekarang sudah dilarangan membuat lokasi jualan baru, karena rawan terjadi tanah longsor,” tambah Wardoyo.
Dari 60 PKL yang ada, ada 15 orang PKL asal Desa Pandean, Ngablak, Kabupaten Magelang. Sedangkan 45 orang PKL asal Dusun Sidodadi, Desa Sepakung, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang.
“Dalam melakukan penataan PKL ini, dilakukan secara musyawarah untuk memberikan penjelasan kepada PKL, termasuk membuat kelompok untuk penataan anggota,” terangnya.
Meningkatnya jumlah wisatawan dan tumbuhnya PKL, telah menyumbang tumpukan sampah setiap minggunya mencapai dua truk lebih. Karena pengambilan sampah, dilakukan seminggu dua kali, yakni hari jumat dan Senin.
Sedangkan wisatawan yang datang lewat pintu masuk Desa Pandean, hari biasa sekitar 300 orang. Tapi untuk hari Sabtu dan Minggu rata-rata 2.500 orang, dengan tiket masuk hari biasa Rp 10.000 dan hari Sabtu-Minggu rp 15.000 per orang.
Meningkatnya wisatawan yang datang ke Puncak Telomoyo, berdampak terhadap jumlah sampah yang terkumpul. Untuk itu, ke depan wisatawan diupayakan untuk membawa kembali sampah untuk dibuang ke tempat sampah yang disediakan di bawah.
“Ini salah satu cara agar sampah tidak menumpuk di atas. Begitu juga pedagang, diharuskan memiliki tempat sampah. Meski saat ini, baru bisa menyediakan bagor untuk membuang sampah,” jelas Wardoyo.
Penulis : as
Editor : edt