Menjaring Asa di Kolam Lele Bioflok


Ahmad Subechi saat memperhatikan pertumbuhan lelenya di kolam bioflok.( Foto: Wisnu S)

SEMARANG, WAWASANCO- MATAHARI  menyembul malu-malu dibalik awan mendung, ketika Ahmad Subechi  tengah asyik mengontrol empat kolam ikan lele di belakang rumahnya, Minggu (13/12) siang. Suhu udara terasa tak begitu menyengat. 

Ada semburat bahagia di wajah lelaki berusia 23 tahun itu setiap berdekatan dengan kolam-kolam ikannya. Hatinya penuh rasa tenteram dan tenang, sedamai suasana tempat tinggalnya di Kampung  Cikrapyak RT 1/RW 1, Kelurahan Tlogosari Kulon,  Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang.

Sembari mengamati ribuan lele yang berkecipak di satu kolam,   tangan Subechi telaten menyingkirkan ranting-ranting kering yang menyampah di pernukaan air. Di hari libur seperti ini, dia bisa leluasa seharian bercengkerama dengan lele-lelenya, mulai membersihkan kolam, menabur pelet (pakan ikan) di pagi hari, sore dan malam menjelang tidur. Jenis lele yang dipelihara adalah Sangkuriang dan Dumbo karena mudah didapat dan cepat pertumbuhannya.

"Saya merintis budidaya lele sejak masa kuliah.  Tertarik untuk memelihara lele karena mudah dicari bibitnya, murah dan prospeknya cerah lantaran permintaan konsumen tetap tinggi," kata lelaki yang akrab disapa Bechi ini.

Dia lalu bercerita, jejak usaha budidaya ikan berkumis di air tawar itu dijalaninya sejak tahun 2016 dengan memanfaatkan pekarangan rumah seluas 8x6 meter. Awalnya dia beternak dengan model konvensional yaitu membuat  kolam dengan semen dan tanah. Meskipun sudah panen beberapa kali, dia selalu dibuat heran dan penasaran. Banyak lelenya mendadak mati sebelum panen tiba. Rata-rata, dari 1.000 ekor yang dipelihara, 400 ekor diantaranya tak berumur panjang. Belum lagi, pertumbuhannya tergolong lambat. Kondisi ini, dari sisi bisnis tentu kurang menguntungkan.

Dia pun tak berpangku tangan, dan intens memburu informasi untuk mengembangkan usahanya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Pada tahun 2018, Badan Amil Zakat Nasonal (Baznas) Jawa Tengah mengadakan pelatihan budidaya lele dengan sistem bioflok, cacing sutera dan jangkrik di Gedung LPMP Jateng. Mendapat dorongan dari Baznas Kota Semarang, dia mengambil kesempatan itu untuk berguru budidaya lele di kolam bioflok.

Pascapelatihan, Bechi pun membawa pulang tiga kolam bioflok berbahan terpal dan modal usaha. Modal itulah yang digunakan untuk membeli 9.000 bibit lele seharga Rp 120-Rp 150 per ekor  di kawasan Kedungmundu Semarang.

Asa Bechi langsung membubung. Dia berharap, dari kolam-kolam lele ini bisa dijadikan  titian menuju wirausahawan yang berhasil. Pada gilirannya dia mampu mengubah statusnya dari mustahik (penerima zakat) menjadi muzaki (pemberi zakat).

"Saya sadar, modal yang terima adalah hasil zakat. Maka akan saya manfaatkaan betul peruntukannya,"  tandas Sarjana Agama lulusan Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang Jurusan Tasawuf Psikotropika ini.

Ciri khas kolam bioflok adalah terbuat dari terpal dengan pipa pralon di bawahnya untuk membuang kotoran ikan. Sistem bioflok adalah teknik  pembiakan ikan dengan cara menumbuhkan bakteri di dalam air serta mengisi  kolam dengan tingkat kepadatan jumlah ikan yang tinggi.

Bio artinya hidup, flok itu gumpalan. Jadi bioflok itu adalah gumpalan hidup. Jadi mikroorganisme itu tumbuh menjadi gumpalan yang akhirnya tumbuh menjadi makanan ikan.

Dijelaskan dia,, prinsip dasar bioflok adalah manajemen air dan pakan. Sebelum diisi ikan, air kolam diberi kapur dolomit untuk menetralkan keasaman. Selanjutnya dia menambahkan tiap satu liter air dengan 25 ml larutan EM4  guna memunculkan mikroorganisme hasil fermentasi dari bahan-bahan organik. Air kolam dibiarkan berproses selama 2-3 hari, baru diisi benih lele.

"Setiap kolam berdiameter 2 m, saya isi dengan 2.000 - 3.000 ekor bibit lele dengan panjang 6-7 cm. Selain pelet saya memberi makanan tambahan berupa kangkung dan sawi," kata bungsu lima bersaudara pasangan Mariman dan Sumiati itu.

Meskipun harga lele di pasaran fluktuatif, dia bersyukur budidaya  lelenya sudah memberikan peluang bisnis di masa pandemi Covid - 19.

Saat panen, dari satu kolam ikan saja bisa menjaring 80-90 kg dan mendapatkan  laba bersih Rp 500 - 600 ribu. Angka itu bisa lebih tergantung harga lele di pasaran.

"Memang belum banyak laba. Tapi di masa pandemi Corona,  cukup membantu finansial keluarga. Yang pasti, dengan kolam bioflok, tingkat kematian ikan lele berkurang dan cepat tumbuh besar ," ujar Bechi yang berhasrat bisa melakukan pembibitan sendiri.

Dia mengapresiasi upaya Baznas Jateng yang berinisiasi membantu para peternak lele. Sebelumnya, saat kuliah di UIN Walisongo dia juga lolos  dalam seleksi beasiswa Baznas karena keaktifannya di kampus dan kegiatan keagamaan di Masjid Al Ikhlas Perumahan BPI Ngaliyan.

Kaya Gizi

Ya, hingga kini  ikan lele menjadi salah satu pangan primadona di masyarakat karena enak,  memiliki gizi tinggi dan aman dikonsumsi.

Menurut Ketua Prodi Ilmu Gizi Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat FIK Unnes Mardiana SKM MSi, kandungan zat gizi jenis lele dumbo meliputi energi sebanyak 158,9 kal, protein  16, 3 gr, lemak 10,4, kolesterol 40 mg, polyunsaturated Fatty Acid (Asam lemak tak jenuh) 1,7 g dan kalium 296 mg.

Meskipun demikian, dia menyarankan untuk tidak berlebihan dalam mengonsumsi lele. Takarannya,  cukup satu ekor lele ukuran sedang untuk sekali makan dengan variasi olahan.

"Keunggulan ikan lele ada pada kandungan protein  asam amino esensial dimana asam amino tersebut dibutuhkan tubuh tetapi tubuh tidak bisa memproduksi sendiri sehingga butuh asupan dari luar," kata dosen prodi gizi  lulusan S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat dan S2 Ilmu Gizi Undip itu.

Soal olahan lele yang digoreng dan dibakar, dia menilai kedua pengolahan tersebut perlu dibatasi frekuensi. Makanan dengan digoreng akan menambah kandungan lemak, dan jika minyak yang digunakan berulang kali akan memicu karsinogenik. Sedangkan dibakar sebenarnya tidak ada tambahan zat gizi namun akan memicu karsinogenik juga sebagai penyebab kanker.

" Pengolahan bisa dengan steam seperti ikan pepes,"' imbuhnya.

Sementara itu, Ketua Baznas Jateng, Dr KH Ahmad Darodji MSi menjelaskan, pihaknya hadir untuk membantu Pemerintah dalam mengatasi pengangguran dan kemiskinan.

Salah satu program unggulan Baznas adalah menanamkan jiwa kewirausahaan kepada masyarakat dengan rutin menggelar pelatihan, baik itu peternakan, pertanian dan usaha kecil.

“Diharapkan setelah mengikuti pelatihan ini peserta yang saat ini masuk dalam golongan penerima zakat kelak  akan berubah menjadi pemberi zakat,” harap Ketua Majelis Ulama Indonesia Jateng itu saat sosialisasi Baznas kepada media, belum lama berselang.

Baznas, tegas Darodji, akan terus melebarkan kiprahnya membagi zakat bagi mereka yang membutuhkan. Dia pun bersyukur iklim berzakat di Jateng menyejukkan serta menunjukkan progres yang menggembirakan.(Wisnu Setiaji)

 

Penulis : wis
Editor   : edt