
KOMPETISI sering dihubungkan dengan beradu capaian. Kompetisi juga sering dikonotasikan negatif. Kompetisi identik dengan mengalahkan, mematikan dan menyingkirkan lawan agar dirinya menjadi yang terdepan dan tampil sebagai pemenang. Pemahaman semacam ini sudah tertancap di benak kita sudah cukup lama sebagai akibat meresapnya nilai-nilai dan budaya negara sekuler di masyarakat Indonesia. Itulah mengapa, kita lebih sering menggunakan istilah competitor daripada partner.
Memaknai sebuah konsep, termasuk konsep bersaing, tergantung dari nilai personal, nilai religi dan motifnya. Motif adalah alasan untuk suatu tindakan. Sedangkan motivasi adalah semua alasan baik sadar maupun tidak sadar yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan tertentu atau tujuan tertentu. Terdapat banyak jenis motivasi, seperti motivasi intrinsik, ekstrinsik, psikologi dan prestasi.
Motivasi berprestasi dimaknai sebagai sikap untuk mencapai prestasi dan bukan prestasi itu sendiri. Motivasi berprestasi merupakan pola perencanaan tindakan dan perasaan yang berhubungan dengan upaya untuk mencapai beberapa standar keunggulan. Seseorang yang mempunyai motivasi berprestasi ingin menjadi yang terbaik. Berdasarkan kajian beberapa hasil penelitian, disimpulkan bahwa seseorang ingin mencapai kinerja terbaik hanya fokus pada dirinya sendiri dan kelompok, bukan untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Jadi, seseorang yang mempunyai motivasi berprestasi ingin menjadi yang terbaik menurut ukuran pribadi dan golongan. Menggunakan indikator pribadi dan golongan inilah yang seringkali menyebabkan tindakan penghalalan segala cara. Semboyan “yang penting menang” merupakan manifestasi tidak hadirnya Tuhan dalam proses mencapai performa terbaik.
Jika hal ini dibiarkan, maka perseteruan diantara individu dan golongan tidak terelakkan dan sulit mencari penyelesaian. Kondisi ini sekarang banyak terjadi. Tidak hanya pada skala individu dan organisasi, namun sudah menjangkiti para pemimpin negeri. Akibatnya rakyat yang dicederai.
Berbicara tentang pemimpin, pastinya bicara tentang role model, panutan, baik dalam bersikap, bertindak maupun bertutur kata. Ibarat ikan yang berada di sebuah akuarium, apapun yang dilakukan pemimpin akan terlihat jelas oleh orang-orang yang dipimpinnya. Dan jika diibaratkan sebagai seorang imam dalam sholat, gerakan imam akan diikuti oleh makmum. Nilai-nilai yang dianut seorang pemimpin akan diadopsi oleh orang-orang yang dipimpinnya.
Kemudian bagaimana hubungan antara pemimpin, kompetisi dan motivasi berprestasi?
Kita coba ilustrasikan adanya dua pemimpin yang sedang berseteru. Yang satu berada pada level kepepimpinan lebih tinggi. Tiap-tiap pemimpin pastinya ingin mencapai kinerja terbaik. Jika spirit mencapai hasil yang terbaik tidak diniatkan untuk ibadah, maka segala cara akan ditempuh, termasuk diabaikannya stigma buruk atas dirinya. Hal ini tidak akan terjadi jika pemimpin mengedepankan Tuhan di atas segalanya. Mereka akan menggunakan mata Tuhan sebagai ukurannya. Meyakini bahwa Tuhan melihat segala tindakannya dan harus mempertanggungjawabkannya.
Oleh karena itu, dalam mencapai kinerja terbaik, pertama, seorang pemimpin harus bertindak profesional sesuai dengan kapasitasnya. Menggunakan fair partnership sebagai upaya memaksimalkan ikhtiar yang diwujudkan dengan sifat open minded (terbuka terhadap saran) dan humble (rendah hati). Dengan dua sifat itu, seorang pemimpin tidak merasa paling benar dan menganggap pihak lain sebagai saudara yang harus saling mendukung dan memperkuat. Semangat melakukan partnership muncul ketika para pemimpin mempunyai orientasi yang sama, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, sejahtera lahir dan batin. Untuk mencapai tujuan besar ini, para pemimpin seharusnya sadar bahwa mereka tidak bisa bekerja sendiri. Bekerja dengan prinsip jamaah sesuai dengan porsinya masing-masing akan mendatangkan rahmat.
Kedua, setelah masing-masing pemimpin telah melakukan upaya maksimal sesuai sumberdayanya, semangat melakukan tugas kepeimimpinan terbaik harus dipelihara melalui continuous improvement. Ini dilakukan sebagai upaya evaluasi dan antisipasi setiap perubahan lingkungan. Kesalahan pengambilan kebijakan yang telah dilakukan sebelumnya merupakan pelajaran berharga guna dijadikan dasar melakukan perbaikan berikutnya. Jika pendekatan penyelesaian masalah yang telah dipilih tidak membuahkan hasil, segera dievaluasi dengan perasaan ‘legowo’ (ikhlas). Mempertimbangkan aspirasi dari tokoh-tokoh yang berpengaruh, merupakan perilaku bijak.
Ketiga, masing-masing pemimpin harus mempunyai semangat berdakwah menebarkan kebaikan. Menjadikan dirinya sendiri sebagai role model, merupakan langkah awal yang berpengaruh siginifikan demi efektivitas sebuah dakwah. Jika pemimpin yang berseteru berada pada level kepemimpinan yang berbeda, maka pemimpin yang berada pada level lebih tinggi harus menjadi pengayom bagi pemimpin di bawahnya. Karena pimpinan tertinggi diibaratkan sebagai orang tua yang mempunyai beberapa anak dengan karakter yang berbeda. Jika ada salah satu anak yang berbuat pelanggaran, maka sebagai orangtua harus merangkul, melakukan tabbayun, dan mencarikan solusi terbaik.
Keempat, ketika tabbayun telah dilakukan dan tidak membuahkan hasil, maka uluran tangan harus diberikan melalui kemudahan akses dan prosedur. Bantuan dapat berupa apa saja, termasuk upaya menghadirkan tokoh agama sebagai penengah dalam forum silaturahim untuk mencapai win-win solution.
Simpulan dari artikel ini bermuara pada redefinisi konsep kompetisi melalui internalisasi nilai-nilai agama. Agama adalah sumber kebenaran mutlak. Agama merupakan way of life, yang menuntun manusia ke jalan yang benar. Kebenaran akan menghasilkan kebaikan dan cinta. Oleh karena itu semangat fastabiqul khoirat (berlomba-lomba dalam kebaikan) menjadi solusinya. Apa beda dari keduanya? Kalau kompetisi mengarah pada capaian terbaik (the best), namun fastabiqul khoirat mengarah pada better (lebih baik). Karena sejatinya, di dunia ini tidak ada yang terbaik, istilah “di atas langit masih ada langit” bisa menjadi cermin bagi pemimpin-pemimpin kita, sehingga tidak ada lagi kata ‘lawan’, yang ada hanyalah ‘kawan’ dan ‘saudara’.
Untuk menjadi pribadi yang lebih baik, seseorang tidak perlu mengeliminasi orang lain. Istilah “rebutan ngalah” (berebut untuk mengalah) merupakan filosofi jawa yang patut untuk dipertimbangkan. Sifat “wani ngalah” (berani mengalah) merupakan sifat terpuji yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang menggunakan “mata Tuhan” sebagai indikator capaian terbaiknya..
Semoga semua ini tidak hanya menjadi impian belaka….
*Dr Ken Sudarti, SE, MSi, Dosen FE Unissula Semarang
Penulis : -
Editor : edt