Setelah perjuangan panjang nan berliku, Kabupaten Purbalingga segera memiliki bandara komersial. Pada 22 April 2021, Angkasa Pura II selaku operator bandara sudah menegaskan bandara yang terletak di Desa Wirasaba, Kecamatan Bukateja itu mulai running.
Seluruh ubo rampe, syarat operasionalnya bandara, terus dikebut mengejar tenggat. Maskapai penerbangan sudah siap. Sebentar lagi angkasa Wirasaba akan ramai, wira wiri dilewati montor mabur.
Flashback peristiwa tiga tahun lalu. Pada 23 April 2018, Presiden Joko Widodo mencanangkan pembangunan bandara yang kemudian resmi diberi nama Bandara Jenderal Besar Soedirman, pahlawan kelahiran Purbalingga. Saat itu, Jokowi menyebutkan bandara dengan luas 115 hektar itu akan menerbangkan kurang lebih 300 ribu penumpang per tahun. Itu pada tahap pertama dengan runway sepanjang 1600 meter. Tahap berikutnya, saat landasan pacu diperpanjang 2500 meter, tentu akan lebih banyak lagi penumpangnya sebab pesawat yang mendarat kapasitasnya bisa lebih besar.
Bandara Wirasaba yang memiliki luas terminal 3000 meter persegi itu akan melayani wilayah Jawa Tengah bagian selatan-barat yang selama ini belum memiliki bandara memadai. Tak hanya Purbalingga sebagai tuan rumah, juga akan membantu mobilitas ke wilayah Banyumas, Banjarnegara, Cilacap, Kebumen, Pemalang, Wonosobo, Tegal, Brebes dan lainnya.
Keberadaan bandara itu disebut Jokowi akan menjadi daya ungkit pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Lancarnya mobilitas orang dan barang tentu saja akan merangsang titik-titik geliat pertumbuhan ekonomi baru. Harapannya, efek bandara akan membuat industri tumbuh, wisata bergerak, UMKM bangkit.
Kabupaten Purbalingga yang ketempatan Bandara Jenderal Besar Soedirman di Wirasaba tentu harus gercep alias gerak cepat untuk menyabet potensi besar itu. Efek positif bandara harus dinikmati Bumi Perwira seoptimal mungkin. Jangan sampai justru kita hanya menikmati remah-remah sementara kue tart-nya dinikmati orang lain.
Untuk itu, infrastruktur, kapasitas sumberdaya manusia, dukungan kebijakan, kesiapan stakeholder harus siaga menyambut kehadiran bandara. Jangan malah gagap dan tidak tanggap. Lalu, jangan pula lupakan pencitraan alias branding, itu penting.
Ada kaca benggala yang patut dijadikan pelajaran bagi Purbalingga. Bandara Adi Sumarmo itu ada di Kabupaten Boyolali, namun lebih dikenal dengan Bandara Solo. Begitupula Bandara Adi Sucipto, adanya di Kabupaten Sleman namun lazim disebut Bandara Yogya. Solo dan Yogya pun lebih optimal mendapatkan manfaat bandara dibandingkan dengan Boyolali dan Sleman.
Nah, kejadian serupa bisa menimpa dengan Bandara Jenderal Besar Soedirman. Adanya di Wirasaba – Purbalingga, namun lebih dikenal sebagai bandara kabupaten tetangga, misalnya, jadi lebih dikenal dengan Bandara Banyumas. Ketiwasan kalau sampai itu terjadi.
Purbalingga Harus Siap
Untuk mewujudkan potensi menjadi realisasi serta agar kita tak hanya menjadi penonton di rumah sendiri, mau tak mau, Purbalingga harus segera berbenah.
Pada penyedia akomodasi kudu tanggap sehingga orang mendarat di Wirasaba tak bingung naik apa dan menginap di mana. Wisata kita harus memikat sehingga pelancong jauh-jauh terbang punya tujuan tetirah dan piknik yang nyaman di Purbalingga. Jangan sampai destinasi di Purbalingga di-skip saja dari ittenary trip mereka.
Iklim investasi harus kondusif supaya investor yang sudah gampang mobilitasnya ke Purbalingga juga mudah menanamkan modalnya. Sektor UMKM wajib hukumnya berbenah, sebab, para tamu kita ini butuh camilan khas, kuliner yang memanjakan lidah juga kerajinan yang ciamik ‘Made in Purbalingga’ untuk oleh-oleh. Pelaku seni dan budaya, ayo bangkit, mereka perlu tahu kreatifitas menawan warga Braling.
Mengembalikan Wirasaba Sebagai ‘Ibu’ Tlatah Panginyongan
Hadirnya bandara di Wirasaba sebenarnya seperti sebuah dejavu sejarah. Bandara Wirasaba yang menjadi pusat mobilitas warga di kawasan Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen) mengulang kejadian abad 14-15. Saat itu, ada sebuah kadipaten besar bernama Wirasaba yang menguasai wilayah-wilayah itu. Kadipaten Wirasaba adalah induk dari kawasan yang kemudian hari dikenal sebagai wilayah eks-Karesidenan Banyumas itu.
Pada tahun 1570, sebuah tragedi yang menimpa Adipati Warga Utama berujung kekuasaan beralih ke menantunya yang bernama Jaka Kaiman. Sang menantu tak enak hati sehingga membagi Kadipaten Wirasaba menjadi empat bagian pada Februari 1571. Inilah yang dikenal dengan Peristiwa Mara Papat (membagi empat) alias Mrapat.
Jaka Kaiman yang kemudian dikenal dengan Adipati Mrapat memilih berkuasa di Kejawar, kampung kelahirannya. Kakak-kakak iparnya memimpin tiga bagian lainnya, yaitu, Ngabehi Wargawijaya tetap di Wirasaba, Ngabehi Wirayuda di wilayah Banjar Petambakan dan Ngabehi Wirakusuma di Pamerden.
Kejawar kelak berkembang pesat menjadi Banyumas sedangkan Banjar Petambakan menjadi Banjarnegara. Sementara Pamerden dan induknya justru meredup, bahkan Wirasaba menyusut hanya menjadi desa yang kini berada di Kecamatan Bukateja, Purbalingga.
Banyumaslah terus moncer mengungguli lainnya sehingga wilayah bekas Kadipaten Wirasaba disebut dengan Banyumas Raya. Bahasa yang ngapak dan budayanya disebut dengan Banyumasan. Seandainya, Wirasaba terus eksis tentu wilayahnya masih disebut dengan Wirasaba Raya dan bahasa serta budaya ngapak disebut dengan Wirasabaan.
Nah, keberadaan bandara di Wirasaba seperti menjadi pertanda kembalinya ‘Ibu’ bagi wilayah tlatah pangiyongan itu. Purbalingga yang sekarang ketiban sampur dengan Bandara Wirasaba harus memanfaatkan momen ini. Kita bisa mengulang sejarah, mengembalikan Wirasaba (Purbalingga) sebagai ‘Ibu’ dari wilayah Jawa tengah bagian selatan-barat.
#Penulis adalah jurnalis dan pemerhati sejarah Purbalingga
Penulis : rls
Editor : edt