SERUPA Revolusi Bunga. Itulah imajinasi massa tentang tren pengiriman beribu karangan bunga “berpesan” dan berkata-kata di Balai Kota. Ada yang mengucapkan terimakasih terhadap pasangan pemimpin yang sebentar lagi selesai masa tugasnya. Ada yang berharap kelak pemimpin itu mendapat tugas baru yang lebih bermakna. Namun ada pula yang secara “runcing” mengisyaratkan pesan penuh kekecewaan. Menurut kelompok ini, akal sehat tak dimenangkan Tuhan untuk melanjutkan gagasan yang sedang dikerjakan.
Mestinya, sebagai tanda terimakasih karena sang pemimpin telah memahami keinginan warganya, yang terkirim adalah bunga Hydrangea. Sejenis tanaman semak setinggi sampai tiga meter dengan warna pink, putih, biru, kuning dan ungu cantik. Atau Bunga Edelweiss yang menyiratkan pengorbanan, ketulusan dan keabadian.
Jika memaksakan diri harus mengingat Revolusi Bunga, ingat pula peristiwa tahun 1974 di Portugal. Setelah masyarakat merasa hak sosial dan politiknya tertekan oleh kediktatoran rezim berkuasa selama 50 tahun, maka tersebut tergelincir dengan kudeta tak berdarah melalui Revolusi Bunga (Carnation Revolution atau Revolução dos Cravos).
Mungkinkah ribuah kilogram bunga mampu melakukan kudeta atas rezim yang berkuasa? Tidak semudah itu. Pengamat politik menengarai, tergulingnya kekuasaan hanya bisa dibarengi oleh dukungan rakyat sipil, bukan hanya oleh militer atau kekuasaan lain. Artinya, bunga menyuarakan pesan damai, selebihnya tidak memiliki kemampuan besar untuk menghancurkan rezim kekuasaan.
Apa yang kini memenuhi Jakarta City Hall, dimana bunga-bunga berjajar rapi dan datang melimpah ruah, sebenarnya hanya membawa pesan. Pesan yang tidak disertai dengan ancaman politik dan ancaman psikologis, melainkan pesan dengan bahasa paling lembut dan paling santun bagi pihak yang tidak membuat si pemesan bunga nyaman hati.
Yang terjadi pada tanggal 25 April 1974 di Lisbon, bukan tangkai bunganya yang memerangi kezaliman, melainkan gerakan rakyat sipil yang mengimpun kekuatan. Dan bunga menyertainya. Sekeras apa pun kata-kata di karangan bunga, ia hanyalah rangkaian pesan yang lembut dan tidak mengandung kekejian.
Epitaf Kota
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Epitaf adalah tulisan singkat pada batu nisan untuk mengenang orang yang terkubur. Serupa yang kita lihat di ribuan karangan bunga itu. Seolah, si pengirim melotehkan ungkapan kata bagi sang pemimpin yang akan meninggalkan tugas.
Karangan bunga menjadi media baru serupa mural yang terjaga. Kata-kata tidak dicoretkan di tembok-tembok kota, dinding jembatan atau tiang listrik. Ia ditulis di bingkai berbunga, kelak bisa dijual kembali barang bekasnya. Kehadiran bunga secara fisik menjadi tidak penting, sedang orang-orang mengeja pesan apa yang ditempelkan di tengahnya.
Orang pun menilai, adalah kekejian atau ketidakberadaban ketika sebagian kita tidak menangkap bahasa simbol bunga, dengan membakarnya serupa membakar sampah di tengah kota. Karena bunga simbol kedamaian dan cinta kasih, tidak selayaknya jika disikapi dengan cara melenyapkan secara anti simbolistik pula.
Peradaban menawarkan kesepakatan global, di mana-mana sudah selayaknya hal itu diterima. Peradaban bunga adalah simbol yang mestinya bisa diterima sebagai pesan kelembutan, perdamaian dan cinta. Ketika sebaian kita belum menerima bahasa peradaban, maka akan dicap sebagai individu tidak terdidik dan tidak mampu menangkap cahaya keberadaban. A flower doesn't love you or hate you, it just exists, ia tidak bersuara kecuali sekadar ada.
Serupa Revolusi Bunga, namun bukan benar-benar sedang revolusi. Ia menjadi pengingat betapa setiap kejadian akan menjadi catatan. Meski seolah diam dan tidak mrespons dengan ucapan. Catatan itu terloteh hingga ke bawah sadar, yang ketika individu dalam keadaan mabuk atau tidur, terucapkan secara jujur. Bukankah dalam situasi seperti itu tidak ada beban atau terkanan.
Ada yang senang ati menerima karangan bunga, ada yang kurang berkenan. Masing-masing memihaki dan membayasi dengan cara pandang. Ada yang tersinggung ada yang bangga luar biasa, itu pun karena disikapi dengan perbedaan kepentingan. Siapakah yang sedang bermain di balik peristiwa meluncurnya beribu karangan bunga? Adalah pedagang bunga, ia punya kepentingan memainkan pasar sedemikian rupa. Sementara konsumen hanya dianjurkan oleh kepentingan estetika.
Kejadian di Balai Kota hanya menyerupai Revolusi Bunga. Namun tidak sedang benar-benar terjadi Revolusi Bunga. Hanya batas romantisme dan estetika saja yang kuyub di dalamnya. Mari kita kutip kata-kata Albert Camus mengenai ini, bahwa “Musim gugur adalah musim semi kedua ketika setiap daun adalah bunga.” Alangkah indahnya.
Kita boleh tertawa, boleh pula menangis. Bunga hanya bisa menyampaikan pesan keindahan namun tidak berkata-kata. Manusia memanfaatkan dirinya untuk media.
Penulis adalah pengelola Ezzpro Media.
Penulis :
Editor : awl