TUBUH manusia bisa saja bebas dan merdeka. Berlenggang, berjalan di antara bunga-bunga, dikerubuti penggemar dan dielu-elukan sebagaimana layaknya idolatri dunia. Ia bergerak dari petak wilayah yang menyenangkan ke petak wilayah yang mengkhawatirkan, tubuhnya bebas menembus angin. Namun belum tentu ia bebas di alam pikir.
Semakin manusia merasa bebas berpikir dan berkreativitas, semakin terpenjara alam pikirnya. Karena ia tidak berhenti mengolah gagasan, mengupayakan hasrat tentang apa yang ia harapkan. Hanya orang-orang yang tidak terpenjara secara fisiklah yang tidak bisa bebas secara alam pikir. Ia terus bergulat dan berproses menuju cita-cita.
Kisah terpenjaranya seorang gubernur di sebuah provinsi karena oleh pengadilan dianggap keliru, benar-benar serupa kisah drama panggung atau novel klasik yang pernah kita temui. Seorang gubernur yang dielu-elukan, diyakini mampu mengubah kota karena keberaniannya, menjadi anti klimaks di saat satu atau dua kalimat ia ucapkan dan melukai sebagian kalangan.
“Tubuhku boleh terpenjara, namun jiwa dan gagasanku tidak,” kata Sang Gubernur. Ucapan ini bisa dianggap salah, karena semakin secara wadak ia bebas, hasrat dan otaknya mengelana. Apa lagi ketika jiwanya terpenjara, psikis pun ikut teraniaya dan tergencet oleh keterbatasan kreativitasnya.
Sam Harris yang juga ahli neurosains menebalkan, otak manusia selalu terpenjara. Kehendak bebas (free will) hanya akan terjadi pada jiwa-jiwa yang mati. Jiwa yang mati tidak selalu berada di jasad yang terbujur kaku di almari pendinginjenazah atau badan yang telah terkubur tanah. Jiwa yang mati bisa tumbuh di tubuh manusia hidup yang otaknya lemah bergulat. Kemudian di manakah jiwa yang hidup dengan otak yang masih berdenyar? Ia bisa tumbuh di kalangan para pemikir, orang-orang yang tengil bertanya mengenai keadilan dan kesetaraan. Manusia yang tidak memikirkan diri sendiri, tetapi sibuk berpikir tentang bumi yang lebar seisinya.
Yang membuat kita tercengang adalah, ternyata kebebasan berpikir hanyalah ilusi. Ia tidak benar-benar terjadi, melainkan hanya angan manusia pendamba situasi ideal mengenai apa yang semestinya terjadi. Bukan apa yang saat ini sedang terjadi.
Manusia dan Benda
Membayangkan seorang gubernur yang terus menerus menggagas ide-idenya di dalam penjara, adalah adegan yang penuh nestapa. Ia merancang keinginan dan harapan-harapan, tanpa objek menyertainya. Namun ia manusia bukan benda, bedanya adalah akal budi manusia terus berproses dan bergerak, sedangkan benda hanya teronggok di tempat kodrat.
Bahkan jika ia mau merenung, Sang Gubernur seharusnya bersyukur terlepas dari jabatannya, karena itu adalah ikatan dan jeruji penjara perdana yang tidak membebaskannya secara pikiran. Jabatan gubernur adalah simbol situasional dimana ia harus menyesuaikan diri sebagai objek. Ia harus menjadi pemimpin sekaligus pelayan rakyat, ia tidak boleh mengecewakan masyarakat, karena menjadi tumpuan.
Apakah semua beban bisa ia sandang? Bagi makhluk yang memiliki banyak topeng, peran beribu wajah bisa dimainkan. Bagi yang sama sekali tidak mengandalkan rekayasa visual, sungguh berat menyandang beribu karakter dengan lakon yang berbeda-beda. Sang Gubernur rupanya tidak mengandalkan topeng, sesekali ia mainkan karakter asli, celakanya tidak selalu disuka.
Kini ia ditahan dan dipenjara. Ia bisa tersenyum, karena merasa jiwanya tidak sedang dalam tekanan. Namun tidak demikian menurut sastrawan penolak hadiah Nobel di bidang sastra tahun 1964, Jean Paul Sartre. Manusia tidak bisa benar-benar bebas jika ia masih mengenakan atribut besar di dalam dirinya. Atribut Sang Gubernur memang tidak sedang memimpin, namun ia menjadi orang yang sedang mendapat simpati besar.
Jadi, apa yang seharusnya dipikirkan seseorang yang sedang sangat mendapat simpati? Ia harus menenangkan pengikutnya. Ia tidak boleh menawarkan “langit” dan memainkan api. Ia harus mengayunkan tangan dengan menari bersama liukan air. Ia harus benar-benar menjadi sumber kesejukan, sebelum semuanya terbakar api.
Manusia bukan sebuah benda, hal itu diulang sekali lagi oleh Sartre. Meski kebebasan merupakan harapan, namun sebenarnya tidak benar-benar ada. Kebebasan hanya ilusi. Manusia terus bergerak mengolah alam pikirnya, tidak berhenti sampai di sini.
Manusia yang terpenjara tidak boleh hanya berdiam diri. Ia harus memberontak dan menjelajah, ia harus mencari kebenaran yang diyakininya. “If the freedom of speech is taken away then dumb and silent we may be led, like sheep to the slaughter.” Jika kau terdiam, maka kau akan digiring ke pembantaian, kata George Washington.
Sungguh dahsyat kejadian di kiri – kanan kita. Dari periode zaman batu hingga zaman digital, selalu diwarnai oleh fenomena dan paradigma. Barangkali itulah tanda-tanda zaman yang biasa kita baca. Kita kerap terlongong, sebenarnya apa keinginan Tuhan untuk mengagendakan ini semua.
Penulis :
Editor :