
Perempuan dan keadilan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari film yang kini tengah ramai diperbincangkan, Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak. Film ini menampar cukup keras berbagai ketimpangan sosial di masyarakat kita. Hingga rasanya tidak afdol bila usai menonton, tidak berlanjut dalam sebuah diskusi. Saya sendiri menghabiskan waktu kira-kira 3 jam untuk mendiskusikan berbagai hal yang menarik dan janggal dalam film ini. Pada hari ke-10 tayang di bioskop Semarang, film ini masih cukup diminati, sekitar 50-an penonton menempati kursi .
Bila tidak melihat sinopsis film ini terlebih dahulu, kita bisa terkecoh dengan judul dari film tersebut karena bisa saja mengira pada setiap babak dalam film ini si tokoh utama akan membunuh. Ternyata, tidak demikian. Setiap babak dalam film ini semacam tema dari kehidupan seorang Marlina.
Babak pertama “Perampokan dan Pemerkosaan”, sosok Marlina ditemui di rumah kecilnya oleh kepala perampok (Markus) dan anak buahnya yang menyusul tak lama kemudian. Kepala perampok yang tampak santai langsung memegang gitar kecil di rumah Marlina dan memainkan melodi ringan namun khas. Dengan mudah Markus menebak lelaki yang duduk tak jauh darinya adalah mayat suami Marlina, yang perempuan itu sangkal dengan mengatakan suaminya sedang pergi. Dalam tradisi kepercayaan masyarakat Sumba (Marapu), mayat dari anggota keluarga yang sudah meninggal memang tidak langsung dikubur. Tiga sampai tujuh hari mayat masih disimpan di dalam rumah dengan posisi kaki menekuk dan tangan memeluk kaki, kemudian dililitkan kain tenun. Tata cara penguburan mayat di sana pun terbilang tidak murah.
Markus pun kemudian, mengatakan maksud dan tujuannya bertandang ke rumah Marlina, yaitu untuk merampok dan menidurinya beramai-ramai dengan anak buahnya. Terlihat ekspresi geram dari Marlina, namun kabur dari rumah agaknya bukan pilihan yang memungkinkan karena jarak antar rumah satu dan lainnya sangat jauh. Belum tentu pun, orang akan menolong dan mempercayai apa yang ia katakan karena budaya sana sangat patriakal.
Tak lama setelah rombongan perampok datang, Marlina diminta memasakan sup ayam. Entah adat masyarakat Sumba sangat sopan atau bentuk dari ketidakberdayaan dengan para lelaki, para perampok itu dilayani dengan sangan sopan. Sebuah ide brilian pun muncul dari Marlina memasukan racun pada sup yang akan disantap dengan buah beracum. Hasilnya empat perampok mati di tempat, dan sang kepala perampok dibacok Marlina dengan parang sekali tebas. Kepala Markus menggelinding tatkala ia tengah menikmati nafsu birahinya.
Babak kedua “ Perjuangan Wanita”, Marlina dengan santai menenteng kepala Markus dengan kain putih. Ia berencana membawa kepala Markus ke kantor polisi. Menceritakan kisah pemerkosaan dan perampokannya. Marlina tak sendiri sebagai perempuan yang sedang berduka. Ada Novi perempuan Sumba yang tengah hamil tua. Sepuluh bulan, ia masih menanti kelahiran anaknya. Novi pun dituduh mengandung bayi yang sungsang sehingga akan memberatkan biaya persalinan. Ia menjadi bulan-bulanan mertua dan suaminya.
Di Sumba sendiri, budaya patriakal masih sangat kental yang kadang menempatkan posisi perempuan tidak imbang. Bertemu dengan Marlina di jalan, Novi sempat kaget melihat kepala yang ditenteng dengan entengnya. Sebuah truk yang membawa ternak berhasil distop oleh Marlina dan Novi. Sempat tidak diizinkan untuk ikut, Marlina membungkam dengan menakuti lewat parangnya. Di tengah perjalanan truk diberhentikan lagi oleh seorang ibu. Permintaan mahar yang terlalu tinggi dari pihak perempuan, membuat anaknya gagal menikah. Dua ekor kuda turut serta dalam perjalanan yang terlihat absurd ini.
Di sisi lain Franz, perampok yang lolos dari racun dan parang Marlina mengetahui keadaan sebenarnya. Tak ambil lama ia pun berbalik dan mencari tahu keberadaan Marlina. Sebuah truk yang sempat ia lihat melintas langsung menjadi target utamanya. Sayangnya Marlina tidak ditemukan, Novi menutupinya dan mereka berbalik arah.
Marlina mengambil alih kuda untuk mengantarnya ke kantor polisi. Novi sempat menegur Marlina dalam upaya kesia-siannya ke kantor polisi. Pun perampok dan pemerkosa itu sudah tewas. Namun, cara itu tetap dipakai Marlina untuk mencari keadilan. Di babak ini Marlina mengorbankan banyak orang untuk melenggengkang akan niatnya mencari keadilan.
Babak ketiga “ Pengakuan Dosa”, Marlina sampai di kantor polisi. Ia disambut oleh seorang bocah penjaga warung bernama Topan, nama yang sama dengan nama anaknya yang mati sebelum lahir. Sebelum ke kantor polisi Marlina menikmati seporsi sate ayam, dan tak serta membawa kepala Markus ke kantor polisi. Ia menitipakan kepala Markus yang sudah ia letakan di kotak kayu di warung . Di kantor polisi Marlina terlihat geram melihat para polisi yang lebih asik bermain tenis meja daripada melayani seorang warga yang hendak melaporkan masalahnya.
Setelah Marlina menunggu berjam-jam, ia menceritakan kejadian memilukan itu dengan tanpa empati, terus menulis di mesin ketik, sang polisi yang tidak berniat melakukan olah TKP pada hari itu. Alasan visum menjadi alibi yang dipakai untuk tidak membereskan kasus pemerkosaan Marlina. Padahal hasil visum sendiri baru bisa didapatkan 20-40 hari setelah pemeriksaan. Sebetulnya, selain visum polisi bisa memperbantukan keterangan ahli seperti psikolog untuk menggali kebenaran dan kondisi jiwa dari korban. Pada realitinya korban perkosaan tak jarang masih dianggap penyebab dari timbulnya tindakan perkosaan. Bagaimana pencarian keadilan bagi seorang perempuan digambarkan penuh pelik disini.
Pada babak ketiga, kritik tajam kepada para penegak hukum jelas terlihat. Sikap para penegak hukum yang mestinya menjadi ujung tombak keadilan, justru membuat putus asa masyarakat. Penggunaan pasal-pasal dalam perundangan seolah memaku para penegak hukum untuk berpikir lebih holistik dalam suatu masalah.
“Hukum harus berhati nurani dan menolak hamba materi”, ungkap B. Arief Sidharta dosen Universitas Parahyangan Bandung.
Babak keempat “Tangisan Bayi”, truk angkut yang semula menyandra Novi dan kawan-kawan diambil oleh anak laki-laki dari Mamak itu. Dihajarnya perampok itu sampai tumbang, naluri kejantantananya muncul melihat Novi diperlakukan kasar. Tak lama kemudian Novi diantar di rumahnya. Suaminya sudah menunggu. Namun, bukannya disambut dengan pelukan dan ciuman hangat, Novi justru dimaki dan dituduh telah berselingkuh dengan laki-laki lain. Ia sama sekali tak peduli dengan kehamilan Novi yang besar. Dipukulinya Novi sampai kalap. Tak jauh dari sana Franz tengah berdiri dengan congkaknya, ia meminta Novi menghubungi Marlina. Franz menuntut kepala Markus. Tak lama kemudian Novi dan Yoga sampai di rumah Marlina. Mayat Markus diletakan tak jauh dari suami Marlina, badannya diatur dalam posisi bayi, dipakaikannya kain tenun di badan Markus. Begitu Marlina datang penggalan kepala Markus diletakan pada posisinya.
Kini dua mayat bersanding. Giliran Novi dan Marlina yang bingung selanjutnya. Malam itu sop ayam kembali dimasak. Yoga meminta Novi yang memasak. Sementara Marlina, ia memiliki rencana sadis terhadapnya. Pemerkosaan akan kembali berulang. Terdengar dari dapur Marlina berteriak dan meronta. Jeritannya lantas menggerakan hati Novi untuk menyelamatkan Marlina. Parang kembali menebas. Dua kali tebasan. Kepala Yoga jatuh menggelinding. Dua perempuan itu telah membela kehormatannya dengan sangat gagah. Tak menunggu lama, Novi terjatuh, badannya mencari topangan. Dorongan bayi untuk keluar tak tertahankan lagi. Dibantu Marlina, Novi berjuang.
Seorang wanita yang dituduh dan disalahkan, menunjukan kekuatannya sampai rasa sakit itu tak dihiraukan sampai tangisan bayi itu pecah. Seorang bayi lahir dalam suasana mengharu. Awal kehidupannya adalah babak awal dari dua perempuan tangguh ini.
Film garapan Mouly Surya ini mendapat penghargaan dari berbagai festival di Internasional. Salah satunya penghargaan yang sangat bergengsi dari Tokyo Filmex International. Mouly Surya dan Kamila Andini adalah dua sutradara perempuan yang baru pertama kalinya membawa nama Indonesia mendapat penghargaan dalam festival ini. Pemilihan isu feminis yang kuat dalam film ini turut menjadikan film ini sudah selayaknya “seksi”. Perempuan yang pada beberapa orang masih dianggap lemah, rupaya bisa melakukan apapun untuk menyelamatkan dan membela harga dirinya. Meski terlihat bengis lewat kepala yang ditebas. Pada Marlina dan Novi saya belajar.
Sindi Dania Qistina, pegiat literasi media, voluntir berbagai kegiatan sosial, pecinta film dan puisi.
Penulis :
Editor : awl