
AKU mengenal Bram setahun lebih, sebelum yakin, dan memutuskan menerimanya sebagai suamiku. Kunilai, dia pribadi yang santun, sabar, dan alim. Keluarganya juga termasuk terpandang dan terpelajar. Tapi, siapa duga, setahun lebih itu ternyata aku tak mengenal sisi paling nyata dalam hidupnya. Ternyata, aku hanya masuk pada "sandiwara" yang telah dia skenariokan dengan sempurna. Sangat sempurna.
Jujur saja, satu hal yang paling aku kagumi dari Mas Bram adalah sikapnya yang sangat santun. Selama pacaran, tak sekalipun dia berusa menciumku. Ia selalu menunjukkan perhatian dengan cara yang sangat dewasa. Paling berani, ia hanya memegang tanganku saat berjalan, dan mencium tanganku kalau akan pergi agak lama, ke luar kota misalnya. Memang pekerjaannya sebagai akuntan di sebuah akuntan publik membuat dia siap berangkat ke mana pun yang menjadi tugasnya. Dan jika pulang, sekangen apa pun dia, juga aku, kamu hanya saling berpegangan tangan. Nilai dia sempurna. Bahkan, mengalahkan mantanku yang meski juga berkarier baik, tapi tak sealim dia. Dengan mantanku, setidaknya aku mengenal ciuman dan dekapan. Dengan Bram aku mendapatkan ketulusan. Barangkali, itulah cinta.
Kami menikah. Dan atas inisiatifnya, sebelumnya kami pun sudah membeli rumah dari tabungan bersama. Meski, sebagai guru, "sumbanganku" tentu tidak seberapa. Hebatnya, rumah dan tanah itu dia sertifikatkan atas namaku. Jadi, begitu menikah, dua hari berikutnya, kami sudah tinggal sendiri. Dan kukira, masa-masa bulan madu akan jadi kejutan yang tak terlupakan, tanpa gangguan.
Malam pertama di rumah, tak terjadi apa pun. Mas Bram hanya memelukku. Malam kedua, dia juga masih hanya memelukku. Tak ada cium atau cumbu, bisik mesra atau rayu. Dia hanya mengatakan, "Selamat tidur, Sayang." atau "Mimpi indah, ya?" dan pulas. Kata-kata yang dulu selalu aku dapatkan melalui teleponnya, nyaris setiap malam. Dulu aku senang, tapi setelah menikah, aku bertanya-tanya: kenapa dia tak juga menyentuhku. Apa dia ragu? Takut gagal? Atau malu?
Aku mendiamkan saja hal itu berlalu sampai satu minggu. Setelahnya, aku mulai mengambil inisiatif: ketika dia memelukku, aku membalas dan mencoba mencumbu. Tapi, ia melengos. Ia seperti kikuk sekali, bahkan tampak takut. Aku jadi merasa bersalah. Ia bahkan tampak berkeringat, yang bukan karena bernafsu. Ahh, apakah dia selugu itu? Aku kecewa, tapi ada juga rasa bangga. Bram, Mas Bramku, ternyata masih "muda", dan tentu, perjaka, hahaha... Ajaib rasanya.
Tapi, setelah itu, meski telah kukomunikasikan, dia tak juga mengambil inisiatif. Bahkan, meski telah "kurangsang" dengan pakaian yang tipis, dia hanya memelukku dari belakang. Dan, ketika habis kesabaranku, aku pun memaksakan diri mencumbunya. Apa salahnya, dia suamiku. Tapi, di antara engahan napasku, Mas Bram malah menahan tubuh dan ciumku. "Aku tidak bisa, Diana. Aku tak bisa..." Berahiku buyar. Segera aku bangkit, dan menyalakan lampu kamar. Kuminta dia duduk, kami harus bicara.
"Kenapa kamu tidak bisa, Mas? Aku tidak merangsang bagi kamu ya?" Dia menggeleng. Tangannya meremasi seprai. "Kamu impoten?" Dia menggeleng. Dan, tiba-tiba, dia tergugu, bersimpuh di kakiku. Airmatanya kurasakan menghangati kakiku. Aku panik. Mas Bram menangis?!
"Maafkan aku Na, maafkan. Aku nggak bisa, nggak bisa...."
"Iya Mas, tapi kenapa? Kenapa kamu gak bisa? Beri aku penjelasan?!"
Tubuhnya bangkit, dan dia mengaku, pengakuan yang membuat seluruh rumah seakan menimpaku, menghancurkan tubuhku. Kukira aku telah mati, nyatanya tidak. Pelan-pelan, mataku kembali melihat Mas Bram, yang masih tergugu. Aku pun menangis, menangis. Bukan untuknya, tapi untukku, untuk nasibku....
Dapatkah Anda membayangkan apa yang aku rasakan, saat Mas Bram mengaku bahwa ia ternyata, "Aku tidak bisa dengan perempuan, Na. Aku homoseks, Diana... Maafkan aku..." Tuhan....
Setelah itu kurasakan tak ada lagi yang namanya kehidupan persuami-istrian di dalam rumahku. Kami nyaris tak bertegur sapa. Kami, meski masih satu ranjang, tak pernah lagi tidur saling berhadapan. Kalau tidak menelentang bersama, menghadap langit-langit, kami akan saling memunggungi. Tanpa percakapan. Ia juga lebih sering bangun pagi, dan pergi. Aku lebih memilih berangkat belakangan, dan menangis sendirian di rumah. Dunia kami senyap, rumah nyaris tak ada suara apa pun. Tubuhku kurus, mungkin kering. Dan mertuaku yang baik itu, masih saja selalu menelpon, dan bertanya apakah haidku masih datang atau tidak. Tuhan....
Tiga bulan setelah pernikahan celaka itu, aku meminta Bram mengatakan kenapa dia memilihku sebagai "istrinya". Dan jawabnya, sungguh membuat aku marah. Dia mengira aku akan dapat menerima kondisinya. Gila! Perempuan normal mana yang dapat menerima kalau suaminya ternyata homoseks! Saat kuminta cerai, dia tak mau memberi jawab. Dia bahkan pergi, berhari-hari, sampai aku panik sendiri. Dan yang lebih menyakitkan lagi, ketika kembali, dia mengaku "bermalam" dengan teman prianya!
Aku seperti terpenjara. Aku bingung. Aku memang bukan perempuan yang haus seks. Tapi, aku juga masih normal, dan ingin memiliki keturunan. Itu yang kupikirkan saat menerima dia menjadi suamiku, membayangkan memiliki anak dari lelaki yang demikian baik dan sabar. Tapi nyatanya?! Bram barangkali hanya mencari status "normal" dengan menikahiku. Ia tak siap menghadapi tekanan keluarganya, yang selalu memintanya menikah karena usianya yang sudah cukup. Tapi, kenapa dia memilih aku sebagai korban dari sandiwara status seksnya? Kenapa aku? Kenapa tidak pelacur-pelacur saja, yang dapat dia bayar dan dia kontrak sekian bulan dalam pernikahan. Kenapa aku?!
Kini, telah 11 bulan pernikahanku. Sebentar lagi ulang tahun pertama. Dan aku tidak tahu lagi, harus bagaimana menghadapi hal ini. Pernah kutanyakan kepada para ahli kemungkinan sembuhnya Bram. Tapi, mereka tidak yakin. Apalagi, melihat Bram sungguh-sungguh tidak ada berahi, nafsu, padaku. Artinya, suamiku bukan biseksual, tapi pasti homoseksual. Bukan penyakit, dan bukan sesuatu yang salah. Yang salah adalah, Bram telah secara kejam memilih aku menjadi topeng ketidaknormalan itu!
Tidak, aku bukan menuntut seksnya. Aku bahkan tidak pernah berpikir selingkuh. Itu bukan pilihan hidupku. Saat ini, aku hanya berpikir bagaimana menjelaskan pada orangtuaku dan orangtuanya tentang status seks Bram, dan mengikhlaskan aku bercerai dari dia. Aku jelas tak akan bisa menjalani hidup terus bersamanya. Aku lebih memilih menjadi janda, meski masih belum tersentuh. Aku hanya menunggu kesiapan diriku untuk mengakui hal ini kepada keluarga, membuka semua luka dan kebodohanku...
(Sebagaimana dikisahkan Diana kepada Langit Shiva Nyala-Aulia)
Penulis : Administrator