Sumanto : Cabut Anggaran Subsidi Pupuk, Alokasikan untuk Menambah HPP Gabah


 Ketua Komisi B DPRD Jateng, Sumanto di Semarang, Rabu (18/8/2021). Foto Ist

SEMARANG - Dari sebanyak 2,9 juta petani di Jateng, separuhnya merupakan petani gurem, yakni mereka yang hanya memiliki lahan di bawah dua ribu meter persegi. Ironisnya, dari regulasi pemerintah yang ada saat ini, justru belum memberikan kesejahteraan bagi para petani kecil tersebut. 

"Bahkan jika sesuai hitung-hitungan, pendapatan petani gurem di Jateng hanya Rp 380 ribu per bulannya. Ini jauh dari standar Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Angka tersebut didapat dari hitungan rata-rata hasil panen per hektare sawah," papar Ketua Komisi B DPRD Jateng, Sumanto di Semarang, Rabu (18/8/2021).

Dijelaskan, per hektare sawah mampu menghasilkan 6 ton padi atau gabah. Saat dijual terjadi penyusutan sekitar 18 persen. Jika sesuai harga pembelian pemerintah (HPP), harga gabah Rp 4.200 per kilogram.

"Namun yang terjadi pada saat panen raya Juni lalu, harga jual gabah hanya Rp 3.400/kg. Jika dikalikan, maka pendapatan petani per bulan hanya sekitar Rp 380 ribu. Harga rendah seperti itu, padahal UMK tiap tahun kan naik. Petani ini tetap bisa bertahan karena rata-rata memiliki sampingan seperti ternak atau tanaman lain," tegasnya.

Sumanto menyentil pemerintah untuk memperhatikan kesejahteraan petani. Bahkan ia menyebut, semenjak zaman sebelum penjajahan, zaman penjajahan hingga sekarang ini tak ada petani yang sejahtera. Jika pun ada, sangat kecil persentasenya. Hal itu dicerminkan dari kebijakan pemerintah dan harga gabah. 

Kondisi itu ditambah dengan kesulitan petani mendapatkan pupuk bersubsidi. Sumanto meminta Pemerintah Provinsi dan Pusat membenahi persoalan pupuk bersubsidi tersebut. Mulai dari data kebutuhan, distribusi, harga di pasaran hingga pupuk ini benar-benar sampai di tangan petani pengguna. 

"Dari dulu, yang namanya barang bersubsidi pasti banyak masalah. Pupuk, minyak atau lainnya. Orang yang bermain pasti banyak. Kemarin dibilang (pupuk bersubsidi), oh sudah cukup. Kenyataanya tidak," kata Sumanto 

Ditegaskan, persoalan pupuk ini juga terjadi pada masa tanam kedua atau MT II pada beberapa waktu lalu. Saat itu, terdapat kekurangan pupuk bersubsidi di lapangan. Ada desa yang kebutuhan pupuk bersubsidinya 3 ton, namun hanya dapat 2 ton. Maka 1 ton kebutuhan mereka harus didapatkan dari pupuk nonsubsidi. padahal harganya lebih mahal 

"Saya menilai ada ketidakharmonisan antara apa yang terjadi di lapangan dengan data yang dimiliki oleh pemerintah. Kalau subsidi ini terus dilakukan dan tata kelola tak benar maka persoalan akan terus berulang. Pupuk langka, susah dicari. Padahal petani itu butuh pupuk tepat waktu," tandas Politikus PDI Perjuangan tersebut.

Sebagai solusi kesejahteraan petani, maka Sumanto meminta subsidi pupuk dicabut. Anggaran subsidi itu dialihkan untuk menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah. Semula Rp 4.200 menjadi Rp 5.500. 

Dengan langkah itu maka subsidi akan lebih tepat sasaran. "Angka Rp 5.500 itu ideal. Banyak petani yang memberikan masukan. Mereka juga siap tanpa subsidi harga pupuk, namun HPP harus naik di angka itu," solusi yang Sumanto tawarkan. 

Menurut Sumanto, urusan gabah dan beras harus menjadi hal yang urgent dan dikelola oleh negara. Ini seperti halnya Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dikelola oleh negara. "Maka kalau mau petani sejahtera gabah harus dibeli negara dengan HPP sekitar Rp5.500," pungkasnya. 

Penulis : rls
Editor   : edt