Aku lahir sebagai sulung. Adikku dua, dan kami bertiga perempuan semua. Kami lahir dari seorang ibu yang luar biasa. Tak hanya cantik, ibu juga sangat mandiri dan teguh pada prinsip. Dan hal inilah yang membuat sampai kini kami tak punya ayah.
Ah, tentu pembaca bingung. Baiklah, aku ceritakan selengkapnya.
Ibu seorang bidan. Dari cerita ibu, dalam keluarga kakek, pendidikan ibu yang paling rendah. Empat adik lelakinya, sarjana semua. Tapi, dua adiknya yang terakhir, justru sarjana karena bantuan ibu. Ibulah yang sengaja memilih sekolah dengan "karier" yang jelas untuk membantu kakek membiayai para paman.
Ibu menikah di usia 23 tahun. Dan aku lahir setahun kemudian. Ayah bekerja di sebuah instansi pemerintah. Hidup kami boleh dibilang mapan. Selain bekerja di rumah sakit, ibu pun praktek di rumah. Dan sedari kecil aku terbiasa melihat ibu membantu proses melahirkan. Tangis bayi siang, sore, bahkan tengah malam, sudah jadi "irama" alamiah di rumahku. Tapi, saat usiaku mencapai 3 tahun, ibu memutuskan bercerai. Ayah jatuh cinta lagi, begitulah kata ibu. Dan begitu ibu tahu ayah telah "tercemar", dia memutuskan bercerai. Tak ada kamus maaf bagi ibu. "Hidup ini keras, Anakku. Sekali kamu menunjukkan kelemahanmu, kamu butuh waktu yang lama sekali untuk bangkit." Itulah kata ibu setelah aku dewasa ikhwal perceraiannya.
Hanya tiga tahun ibu menjanda. Ia kemudian menikah lagi, dengan dokter muda. Aku sejak awal memanggilnya "Oom", dan ibu pun mendukung panggilan itu. Tapi, usia perkawinan ini pun tak lama. Ibu bercerai lagi, setelah memberi aku seorang adik. Sebabnya karena terlalu banyak pertengkaran di antara mereka. Oom ingin Ibu hanya bekerja di rumah sakit saja, dan dia yang praktek di rumah. Tapi Ibu tak mau, dan setelah mencoba bertahan sampai empat tahun, mereka berpisah.
Dua tahun kemudian, di usia ke-35, ibu menikah lagi. Dan setelah punya anak satu, ibu pun bercerai lagi. Perkawinan ketiga ini bahkan tak sampai berumur dua tahun. Kata ibu, perceraian itu sudah akan terjadi di enam bulan pernikahan. Hanya kehamilan saja yang membuat ibu menunda hal itu. Sebabnya, suami ibu ternyata tak bekerja tetap. Ibu mengakui ia memang salah. Dan setelah perceraian yang ketiga itu, tak ada lagi lelaki yang hadir dalam kehidupan ibu. "Kalian bertiga telah lebih dari cukup buat Ibu," katanya.
Meski bercerai, tapi kami tetap punya waktu untuk bertemu ayah. Biasanya, Lebaran waktu yang sangat tepat untuk bertemu. Itu karena ketiga mantan suami ibu telah punya istri lagi, dan anak. Dan ibu tak begitu mengijinkan kami terlalu dekat. Ibu tak mau kehidupan keluarga ayah terganggu gara-gara kami.
Meski berlainan ayah, kami bertiga tumbuh sangat dekat. Apalagi, pekerjaan ibu membuat kami bertiga terdorong jadi mandiri. Tak ada pembantu di rumah kami. Hanya Eyang Putri yang kadang datang, di hari minggu, menemani kami ngobrol jika ibu ada pasien. Setelah aku SMA, ibu bahkan mulai mengajak aku membantu proses persalinan pasiennya.
Aku kemudian kuliah di Semarang, karena berhasil masuk Undip. Ibu bangga sekali, juga adik-adikku. Meski aku merasa berat juga, harus berpisah dengan mereka. Dan di Semarang inilah kisah asmaraku dimulai.
Mungkin karena mewarisi kemandirian ibu, sampai semester lima, aku tak pernah dekat serius dengan lelaki. Padahal, wajahku pun mewarisi kecantikan ibu. Ya, ada memang beberapa lelaki yang dekat. Tapi tak ada yang lebih aku anggap kecuali sebagai sahabat. Barulah di semester akhir aku kenal Cahyo, dari fakultas lain. Kami pun berpacaran, dan melangkah ke tahap yang serius. Aku begitu cepat akrab dengan keluarganya. Bahkan, jika hari Minggu, aku terbiasa memasak bersama ibunya. Sampailah waktunya Cahyo berkunjung ke rumahku. Dan ketika tiba di rumah, ibu menyambut dengan kejujuran yang sempat aku pertanyakan. Ibu menceritakan tentang pernikahannya yang sampai tiga kali, dan kami bertiga yang berlainan ayah. Cahyo kaget. Dan, setelah kami sampai Semarang, semua berubah. Dengan halus, ibu Cahyo mengatakan tak dapat menerima "masa lalu" ibu. Ia bahkan "berpetuah" soal bebet, bibit, bobot. Menjengkelkan. Aku menangis, dan pulang ke Tuban. Aku marah pada Ibu. Tapi, Ibu justru membuat aku sadar. "Lelaki itu tak pantas untukmu, Anakku. Apa jadinya jika ia hal itu kita sembunyikan, dan dia tahu setelah kalian menikah? Apa kamu juga ingin seperti ibunya, menikah untuk bercerai? Mulailah dengan kejujuran anakku, lelaki yang tepat akan menghargai kejujuranmu, dan menerima masa lalu keluarga kita. Tak ada yang perlu disembunyikan, karena tak ada aib dalam keluarga kita," katanya. Aku minta maaf pada Ibu, dan berjanji akan melupakan Cahyo.
Ibu benar. Tak ada aib dalam keluarga kami. Ibu bercerai dengan baik-baik, dan dalam posisi yang benar. Tak ada aib, dan tak ada yang harus disembunyikan. Ya, ibu benar. Karena itulah, setiap kali hubunganku dengan lelaki mulai ke arah yang serius, aku ceritakan tentang keluargaku, aku ajak ke Tuban untuk berkenal dengan ibu dan dua adikku. Dan hasilnya, banyak yang mundur secara teratur. Alasannya, kawin-cerai ibu itu membuat "darahku" tidak bersih. dan bukan tak mungkin aku melakukan hal yang sama. Awalnya, aku selalu sedih dengan alasan itu. Tapi, lama kemudian aku selalu tertawa.
Oh ya, aku kemudian lulus, dan bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan asing di Semarang. Relasi yang kian bertambah, komunitas yang lebih rasional pun kumasuki. Dan, di usia 30, aku berkenalan dengan Syam. Kami cepat sekali merasa cocok. Dia pintar sekali, dan sangat menyenangkan. Dan, baru kali inilah aku takut untuk bercerita tentang Ibu. Tapi, saat hal itu aku utarakan ke Ibu, beliau memaksa aku untuk tetap jujur. "Jika dia sungguh-sungguh mencintaimu, dia akan memilihmu. Percayai itu," tegas ibu.
Aku pun berterus-terang, bahkan kulakukan itu di depan keluarganya, saat makam bersama. Dan Syam kaget. Ternyata, meski keluarga terpandang, kaya, dan berpendidikan, mereka juga masih sangat menjaga "tradisi". Syam mencoba membelaku, dan mempertahankanku. Ia memang mencintaiku. Tapi, penentangan dari keluarganya yang habis-habisan, membuat aku kehabisan energi untuk ikut pada perlawanan Syam. Ia dan juga aku, menyerah. Kami pun berpisah, dengan kesakitan yang luar biasa. Dan, aku kembali ke Ibu, mengadukan segalanya.
Kini usiaku telah 33 tahun, dan kian lama, perhatianku pada lelaki mulai tak ada. Waktuku lebih banyak untuk karier, mengurus adik-adikku yang mulai kuliah, dan mengurus Ibu yang mulai renta. Setiap akhir pekan, kuusahakan pulang. Cuma, beberapa waktu lalu, adikku Sita, bercerita, ia baru saja berpisah dengan kekasihnya. Alasannya sama, kekasihnya yang asal Surabaya itu pun tak siap dengan masa lalu Ibu. Duh! Ibu sendiri, tampaknya mulai tak sekuat dulu. Ia tampak berpikir setiap kali kami berkumpul, dan mengeluh, "Apa yang salah dengan perceraian Ibu ya? sehingga kalian yang tak tahu apa-apa, masih harus menanggungkannya..." Dan jika sudah begitu, kami bertiga bertangisan bersama.
Ya, aku tak tahu, apa yang salah dengan keputusan ibu. Apakah sungguh kawin-cerainya ibu itu sangat berbahaya bagi kehidupan rumah tanggaku dan adik-adikku? Kenapa di zaman ini masih saja banyak lelaki kolot begitu? Kenapa? Aku menyumpahi mereka, lelaki yang masih memilih bobot, bibit, bebet, dan tetek-bengek lainnya, daripada mempertahankan cinta mereka. Cih!
(Sebagaimana penuturan Kirana, Semarang)
Penulis : Administrator