Sarapan Meditatif di Canting Dafam Wonosobo


Suasana yang hening di canting dafam wonosobo

SARAPAN di hotel dengan menu yang ramai dan enak? Itu biasa. Sarapan dengan iringan musik, juga biasa.  Banyak hotel yang menyajikan hal semacam itu. Tapi, sarapan dengan suasana meditatif, hening nyaris sunyi, sehingga denting sendok yang bercumbu dengan piring kadang terdengar jelas, itu jarang sekali. Dan sesuatu yang jarang, unik juga asing, acap membuat efek wow!

Dan keunikan, juga keistimewaan itu, saya rasakan di resto Canting Dafam Wonosobo.

Berada di lantai paling bawah, kita harus turun selantai lagi dari lift terakhir, untuk menuju resto ini.  Namun, begitu lepas dari lift, dan berjalan ke kiri, sebelum menemu tangga turun ke sisi kanan, kulit kita sudah merasakan suasana yang. berbeda. Angin begitu lepas menderas, dan bau tanah basah, mungkin habis hujan, mungkin lembab embun, mendatangkan kesegeran yang akrab. Semakin anak tangga dituruni, telinga kita pun samar menangkap suara deras air, ditingkahi denting instrumental musik etnik.

Lho, ini di mana?

Apakah benar ini suasana yang akan kita cecap di Canting?

Lepas dari tangga, mata kita akan dicemari hamparan kursi dan meja, di area terbuka depan resto, yang pagi itu dijilati mentari. Ada aroma hangat, apalagi dari situ, mata kita ditatapkan pada area hijau bukit di kejauhan, dan turapan sungai di sisi bawah. Dan suara air menderas tadi, ternyata dari aliran sungai yang tersendat batu-batu besar, lalu jatuh, terempas, sebagai arus liar.

Jadi, jika duduk di outdoor, telinga kita digelitiki suara empasan air dan kulit dijilati hangat matahari, jika di area dalam resto, pengalaman sejenis pun tercipta. Area resto diaromai bau dan warna kayu, dengan denting instrumen Bali yang terasa malu-malu. Berjalan melihat jajaran menu sarapan, dengan lampu yang agak temaram, juga pelayan dengan busana khas Bali, membuat kita acap lupa jika tengah berada di Wonosobo.

Ini resto yang indah. Bukan karena mewahnya, tapi suasana akrab yang dilahirkannya.

Jika di suasana begini, makanan akan jadi nomor ke sekian.

 

Percakapan Kopi

Saya pun mengambil kopi, meminta dibuatkan omelet, dan memilih duduk di sudut untuk mendapatkan keduanya: masih di dalam tapi mampu melahapi suasana luar. Saya memilih di meja yang ditempiasi susu cahaya matahari, dengan suara air dan denting musik yang juga samar menjalari telinga.

Ini akan menjadi sarapan yang sempurna, batin saya. Apalagi jika ada sepenggal obrolan. Karena, kata orang-orang, secangkir kopi akan terlalu cepat dingin jika tidak dihangatkan dengan percakapan-percakapan.

‘’Bagaimana menginap dan sarapan di sini, Pak?’’ Eh, tetiba telinga saya mendengar sapaan itu.

Penyapa itu, Ivan, GM Dafam Wonosobo. Dan dari sapaan singkat itu, kami lalu berbelit kata nyaris selama 3.780 detik.

Ivan bercerita mulai asal mula pembangunan Dafam Wonosobo, grafik okuvansi, konsep resto, juga arah ke depan yang akan dia lakukan agar pelayanan makin memuaskan.

‘’Tiga bulan lagi ke sini, kolam renang di bawah pasti sudah selesai, Pak,’’ katanya.

Kami lalu membahas pengalaman menginap di berbagai hotel, dalam dan luar Jawa Tengah, juga beberapa konsep resto hotel, dan saling tertawa karena punya pemikiran yang sama. Ivan baru 22 tahun, dan dia punya modal untuk gampang maju: kesabaran mendengar dan kekuatan bicara yang sama baiknya.

Berkali-kali dia mengangguki ketika saya menyarankan beberapa hal, agar aspek meditatif di Canting itu kian kuat dan memberi aksentuasi yang kaya untuk tubuh dan pikiran. ‘’Di sini, saya menutrisi tubuh dengan makanan, dan me-refresh pikiran dengan suara-suara alam yang datang sebagai rayuan.  Suasana meditatif ini tak banyak saya temukan di hotel lain,’’ puji saya.

Ketika kopi tandas, saya baru ingat, perut ternyata hanya diisi bapau hangat dan omelet. Terlihat bahwa percakapan yang bergizi pun bisa menjadi sarapan ternikmat, apalagi dengan suasana yang sangat kaya seperti itu.

Ketika Ivan pamit, saya pun bergegas memesan sepiring nasi goreng —yang dimasak langsung— dan mencukupkan pagi itu dengan segelas jus jeruk. Bangkit dari kursi dan berjalan kembali menuju kamar, saya sempatkan menghirup panjang kesegaran yang naik dari sungai di bawah resto: sebagai simpanan energi untuk aktivitas siang nanti.

Penulis : Aulia A. Muhammad
Editor   : awl