Eksotika Makan Bajamba di Istano Basa Pagaruyung


Sebuah eksotika tiada tara, perjalanan muhibah ke negeri Minang. Begitu tiba, rombongan disambut tarian dan diberi sirih untuk dikunyah sebagai penghormatan tuan rumah (kanan bawah), kemudian makan bersama yang disebut "makan bajamba", setelah itu esi fot

MINANGKABAU, sebuah nama yang mengingatkan pada banyak hal. Ada talempong musik mirip gamelan. Ada semacam bonang, lalu ada saluang (semacam seruling) yang diaminkan untuk mengiringi tarian. Minang juga mengingatkan pada tokoh-tokoh seperti Haji Agus Salim, Bung Hatta, penyair Taufik Ismail. Dan, tentu saja karya besar sastrawan Pujangga Baru seperti Abdul Muis dengan Salah Asuhan, Tulis Sutan Sati dengan Sengsara Membawa Nikmat, Sutan Takdir Alisjahbana dengan Layar Terkembang, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Marah Roesli dngan Sitti Nurbaya, dan lain-lain.

Dan, tentu saja kita harus mengakui, Minang itu luar biasa. Rumah Makan Padang ittu ada di seluruh Indonesia. Daging rendang sudah diakui sebagai salah satu makanan terlezat di dunia. Ketika kita berada di suatu daerah, kemudian kita ragu apakah makanan di daerah tersebut cocok dengan mulut dan perut kita, maka ketika ketemu rumah makan Padang, ini saja yang dipilih.

Untuk yang kedua kali saya mengunjungi Minangkabau setelah kunjungan pertama tahun 1997. Atas undangan Pemprov Sumatera Barat juga, bersamaan dengan peringatan Hari Pers Nasional, para wartawan pariwisata diundang untuk mengikuti Famtrip (Familiarization Trip) mengunjungi keindahaan alam dan budaya di Ranah Minang. Tentu berbeda dengan 21 tahun lalu. Kini bandara sudah tidak di Padang tetapi di Padang Pariaman, sekitar 20 km dari kota Padang, yakni Bandara Internasional Minangkabau menggantikan Bandara Tabing.

Kegiatan Famtrip yang diikuti sekitar 70-an wartawan pariwisata se-Indonesia itu berangsung selama empat hari dan dua hari penuh untuk mengunjungi destinasi penting di Sumatera Barat, Tentu banyak hal yangmenarik yang bisa ditulis dalam muhibah empat hari itu. Tetapi di ruang ini, saya akan menulis tentang tradisi makan bajamba di Tanah Minang.

Makan bajamba adalah tradisi makan bersama dengan cara duduk secara lesehan di suatu ruangan. Biasanya tradisi ini dilakukan pada hari-hari besar agama. Tetapi kini tradisi semacam ini juga dijual untk atraksi wisata. Makan bajamba punya makna filosofi dalam, karena di sini kebersamaan muncul tanpa melihat perbedaan. Terlebih kami makan di istana raja.

Sudah pasti ini menjadi sensasi tersendiri, karena bisa menikmati eksotika Minangkabau yang luar biasa. Para wartawan dari seluruh provinsi di Indonesia hadir. Dan, ini kecerdasan Dinas Pariwisata Privinsi Sumatera Barat, dengan mengundang travel writer dan wartawan pariwisata ke mari. Karena begitu pulang mereka akan menulis kisah perjalanannya ke negeri yang indah ini.

Istano basa Pagaruyung

Setelah menempuh perjalanan dari Padang sekitar tiga jam, kami dibawa ke sebuah kawasan dengan bangunan megah di Kabupaten Tanah Datar yang beribu kota di Batusangkar. Istana Basa Pagaruyung atau Istana Besar Pagaruyung.

Seturun dari bus, kami dibimbing menuju balairung istana, yaitu tempat pertemuan di bagian belakang istana. Kami disambut dengan tarian gemulai anak-anak dengan irringan talempong. Setelah itu seorang gadis datang membawa sirih, dan menyerahkannya kepada kami. Beberapa teman “harus” menerima sirih itu dan mengunyahnya. Di antaranya adalah Haji Sutransjah Ketua PWI Kalimantan Tengah. Meski rasanya tidak enak, harus juga dilakukan.

Setelah itu, anak-anak yang menari membimbing kamimenuju balairung. Alas kaki mesti dilepas, dan balairung itu berupa bangunan panggung tentu saja dengan arsitektur khas Minangkabau dengan ujung kiri dan kanan atas yang meruncing bagai tanduk kerbau itu.

Sebelum kami naik ke balairung, seorang anak berpakaian ada Minang kemudian membawakan pantun, tentu saja dalam bahasa Minang, yang maknanya ada menyambut para tetamu dengan senang hati dan tangan terbuka. Usai pantun dibaca, ditaburkanlah beras kuning pada tetamu.

Kami pun kemudian melepas alas kaki, dan naik tangga menuju sebuah ruangan yang panjang. Amboi, di sana sudah tersedia belasan tudung saji yang terbuat dari bagian batang bambu yang ada pada ruasnya (orang Jawa menyebut clumpring) yang dihiasi kain bermotif khas Minang.

Satu tudung disiapkan untuk empat orang, dan kami pun masing-masing empat orang lesehan di depan tudung itu. Sudah lapar, dan kami senang tentu saja. Tetapi, kami belum boleh memuai makan. Ada upacara lagi yang harus dilakukan. Perwakilan tamu rumah lebih dahulu berpidato, tentu saja dengan bahasa Minang. Yang intinya ucapan terima kasih atas penyambutan yang hangat. Tetapi untuk tamu dari luar, biasanya diwakili oleh “pihak sana”. Kemudian setelah itu sambutan tuan rumah. Barulah kita makan.

Lamak Rasonyo

Sampailah kami pada saat yang dinanti. Tudung saji dibuka, di sana ada nasi putih, sayur gulai pucuk daun singkong, ayam goreng, dan tentu saja randang minang. Sebenarnya, makanan yang disajikan seserhana itu. Gulai daun singkong ya seperti masakan di Jawa. Tetapi yang menarik, rendangnya dimasak dengan singkong goring dalam potongan dadu kecil. Ya goring singkong seperti balok (bahasa daerah Magelang dan sekitarnya) atau blanggem (bahasa Semarangan).

Semula saya kira itu potongan kentang, terrnyata singkong. Sensasinya ada mak klethus  (ada sensasi krispi) begitulah. Kemudian rendangnya, maaf kalau saya bilang, ini rending terlezat yang pernah saya makan. Lamak bana rasanyo. Enak benar-benar enak rasanya. Kemudian gulai daun singkongnya.

Maka, tidak aneh kalau para peserta famtrip tanduk  dalam bahasa Jawa yang artinya menambah nasi atau lauknya ketika makan. Maka ada yang setengah berteriak bilang, “Makan bajamba lamak bana rasonyo. Tambuah ciek (Makan bajamba benar-benar enak, tambah satu lagi….)”. Sebuah eksotika tiada tara, makan bersama dalam acara makan bajamba.

Usai makan kami diajak masuk ke Istano Basa Pagaruyung (Istana Besar Pagaruyung) yang sudah tidak berfungsi lagi sebagai pusat emerintahan, tetapi kini menjadi museum. Bangunan yang megah itu sudah beberapa kali terbakar, dan terakhir dibangun kembali pada tahun 2007. Bangunan ini yang menarik, masih juga menggunakan dinding dari bambu gedheg. Tetapi bangunan sangat megah dengan tiga tingkat. Yang masing-masing ada maknanya.Lantai pertama untuk raja bermusyawarah dan memimpin persidangan, lantai kedua tempat raja beristirahat atau bermeditasi, dan lantai ketiga untuk ruang tidur raja dan permaisuri.

Makan bajamba dan alam Minang yang indah, budaya yang menggetarkan jiwa, Bana-bana rancakbana. 

 

Penulis :
Editor   :