Perceraian Ibu Membuat Kami Bahagia


Ketika Ibu menggugat cerai ayah, kukira kiamat akan terjadi dalam kehidupan kami. Kenyataan berkata lain. Kehidupan kami bahkan berjalan lebih baik, normal, tak ada makian dan pukulan, tak ada tangis ibu setiap malam.

Kami memang menjadi serba kekurangan, tapi kami sungguh merasa bahagia. Perceraian orang tua kami, membebaskanku dan adik-adik dari penderitaan yang nyaris tak berkesudahan.

Kuceritakan kisah keluargaku ini, untuk berbagi pengalaman saja. Berkali-kali kubaca di rubrik ini, betapa banyak kaumku yang "teraniaya" batinnya karena ulah suami yang tidak sepantasnya. Dan selalu kaumku tersudut karena takut sekali mengambil keputusan bercerai. Kebahagiaan anak-anak menjadi pertimbangan yang paling pelik. Padahal, jika pun perkawinan diteruskan, adakah jaminan anak-anak akan mendapatkan kebahagiaan?

Aku Ani (29), anak pertama dari Ibuku Maemunah (52). Ayahku tak perlulah kusebutkan namanya, karena telah lama dia memang hilang dari kehidupan kami. Benar dia memang ayahku, ayah biologis, nama yang melekat dalam namaku, dan hanya itu. Selebihnya, dia adalah lelaki yang tidak aku kenal, tidak adik-adikku kenal. Bahkan, kini dia berada di mana pun, aku dan ibu tak pernah tahu, tak pernah mencari tahu.

Ibuku seorang guru. Ayah semula kerja di sebuah perusahaan kontraktor. Kehidupan kami lumayan membaik. Karena gaji ayah mencukupi, ibu pun lalu merelakan gajinya untuk mengambil rumah, kredit. Semua berjalan normal, sampai aku kelas dua SMP. Ayah di PHK karena ketahuan korupsi. Dia kehilangan pekerjaan, dan lebih dari itu, kehilangan orientasi hidup. Mungkin rasa malu membuat dia kehilangan pegangan, tak berani keluar rumah, dan kalaupun keluar, malam hari, main kartu di gardu penjaga malam. Terkadang pulang sambil mabuk.

Ibu --aku sangat tahu-- berkali-kali menyemangati ayah, tapi gagal. Dan berkali-kali juga makian didapatkan ibu. Ayah kalau marah luar biasa kasar, memaki-maki ibu sebagai perempuan yang tak lagi menghargainya karena dia telah kehilangan pekerjaan. Bahkan, jika sudah emosi, ibu ditampar ayah. Sesuatu yang tak pernah aku duga akan terjadi. Berkali-kali aku mendapatkan ibu menangis di kamar, setelah ayah pergi. Pipinya lebam, rambutnya kusut, seperti habis dijambak. Kepadakulah, anak tertuanya, ibu menangis dan mengadu.

Kami mencoba bertahan. Kami berharap ayah berubah. Tapi harapan itu cuma omong kosong. Kian lama ayah kian parah. Main pukul dan bentak kian sering. Aku jadi takut pulang ke rumah bila usai sekolah. Tapi aku lebih takut lagi, adikku, Mia, yang masih SD saat itu, akan mendapat perlakuan buruk dari ayah. Dan jika siang di rumah, habislah aku. Diminta ini-itu, dan ucapan terimakasihnya adalah makian dan sumpah. Anak setan, anak jadi beban, anak ibumu, anak durhaka, menjadi makian yang kami terima setiap hari. Dan jika ibu pulang, melihat kami meringkuk ketakutan di kamar, lalu membela, sebuah tamparan akan datang sebagai hadiah.

"Begitu cara kamu mendidik anak, ya? Kau ajarkan mereka melawan aku?! Bajingan!" Plak!!

Dua tahun saja ibu sudah susut badannya. Kurus kering, cekung. Ibuku yang cantik, guru yang baik, sudah layu. Aku mulai masuk SMA ketika menyadari betapa hebat penderitaan ibu karena perlakuan ayah. Ibu bahkan seperti "diperkosa" bila ayah ingin mengintiminya, membiarkan ibu menangis dan menghadiahinya ludah sesudah selesai. Pernah aku mendobrak pintu kamar, dan sebuah tendangan mengenai pinggangku. Pertengkaran atau pertempuran hebat terjadi. Ibu tak terima aku disakiti dan membalas ayah. Aku pun membela, kami mengeroyok, memukul, menggigiti ayah. Sementara adikku, Mia, menjerit-jerit menangis. Tetangga sampai berdatangan saat itu, sehingga ayah pergi. Saat itulah, untuk pertama kali aku mendengar ibu meneriakkan, "Aku akan menuntut cerai!"

Ayah tidak pulang 2 hari, dan waktu itu kami habiskan untuk saling curhat. Ibu sudah memutuskan untuk bercerai, dan minta restu kami. Bertiga kami bertangisan. Ibu mengatakan, aku ingat sekali hari itu, bahwa sejelek apa pun, dia memang ayah kami. Tapi ibu tidak ingin kejelekan ayah membuat kami menderita. Aku setuju. Mia yang dekat dengan ayah pun mengangguk.

"Aku ikut Ibu ya? Aku ikut Ibu, ya? Boleh ya?" katanya. Dia takut sekali kalau sampai anak dibagi dua, dan dia ikut ayah. Ibu berjanji akan mati-matian membawa kami.

Dan ayahku, bajingan itu, menuntut lebih. Dia mau menceraikan ibu asal rumah dan isinya ditinggalkan untuk dia. Ibuku --Ya Allah, bahagiakanlah dia selalu-- dengan tegar menyerahkan semua surat rumah, dan pergi setelah cerai terjadi dan ayah setuju. Dengan menjual semua perhiasan, termasuk cincin kawin, ibu mengontrak rumah kecil, dan merawat kami. Tak ada apa-apa di rumah itu, hanya baju-baju kami, dan tikar. Dengan sisa gaji yang dihemat, pelan-pelan kami beli tempat tidur dan lemari. Tak pernah kami lelah berdoa, bangun tengah malam bersama, puasa bersama, untuk tabah menghadapi cobaan itu. Tak pernah ibu mengeluhkan deritanya pada orang tuanya, kakekku di Solo. Semua ibu jalani dengan ikhlas. Dan pelan, kami berubah. Ibu memang jadi kian capai. Dia bekerja tambahan sebagai "kasir" di toko, masuk jam 4 sampai jam 9 malam. Tapi ibu tampak bahagia, tubuhnya pelan-pelan berisi lagi, dan pipi ibu tak lagi setirus dulu. Aku pun belajar mati-matian, juga Mia.

Ayahku, kutahu, menjual rumah itu, dan pergi entah ke mana. Pernah eyang dari ayah datang, dan mengabari ayah berada di Sumatera. Tapi aku tak tertarik mendengarnya. Cukuplah kukenang dia sebagai lelaki yang telah menyakiti orang yang paling aku cintai, ibuku.

Perjuangan ibuku tidak sia-sia. Aku akhirnya sarjana. Adikku juga. Ibu pun bisa kembali mendapatkan rumah kecil, yang kini aku yang mengangsurnya. Aku bekerja, dan mencari suami yang direstui ibu. Alhamdulillah, semua berjalan sesuai rencana Allah. Kudapatkan suami yang pengertian, dan sayang sekali pada ibu. Sehingga suami pun mau tinggal dengan kami, karena aku memang tidak mau berpisah dari ibu. Aku tak mau meninggalkan ibu yang telah mempertaruhkan semua kebahagiaannya untuk kebahagiaan kami.

Mia pun, adikku, kini telah bekerja. Dia tumbuh tegar dan cantik, dan hubungan kami, sungguh jadi demikian kuat. Aku merasa sangat beruntung punya ibu yang berani memutuskan untuk bercerai. Berani menanggungkan semua itu sendiri daripada disiksa oleh suami. Aku beruntung mendapatkan ibu yang memikirkan masa depan anak-anaknya lebih daripada masa depan dia.

 

Pembaca, belajarlah dari pengalaman ibuku. Jangan pernah mau disakiti oleh siapa pun, termasuk suami. Jangan mau dihina, disepelekan, ditakut-takuti dengan cerai. Jangan pernah takut untuk berjuang meraih kebahagiaan sendiri. Bercerai bukan berarti kiamat. Bercerai bahkan bisa membebaskan diri dari penderitaan berkepanjangan. Seperti yang keluarga kami telah jalani. Belajarlah dari kisahku ini. Dan yakinlah, Tuhan akan berikan jalan kalau kita mau percayai hal itu.

 

(Cerita Ani kepada Aulia)

Penulis : Administrator