Tuhan, Kenapa Harus Anakku?


 

Aku orang yang percaya, tidak ada dosa yang tak diampuni Tuhan, kecuali menduakan diri-Nya. Karena itu, setelah bertobat dari dosa yang pernah aku lakukan, aku merasa menjadi begitu dekat dengan Tuhan. Kujauhi semua larangannya, dan mencoba memberi nikmat pada ibadahku.

Tapi, 4 tahun setelah dosa yang kulakukan itu, dan aku nyaris melupakannya, sesuatu menimpaku, seperti hukum karma yang datang belakangan. Agaknya Tuhan tidak mengampuni dosaku....

Panggil aku Andira (31), bersuami Dimas (30), dan berputri Inayah (4). Kami menikah setelah berpacaran lebih dari 6 tahun, yang dimulai dari kampus kami di Yogya. Aku sendiri berasal dari kota di wilayah Pantura, dan Dimas asli Yogya. Namun, karena koneksi orang tuaku, setelah menikah Dimas dapat bekerja di kotaku, di sebuah perusahaan yang cukup besar dan terkenal. Karena itu, secara materi kamu sangat mencukupi.

Namun, tiada yang tahu, di luar "kebahagiaan" kami itu, sering sekali kami bertangisan, terutama jika sudah melihat anak kami. Ya, Inayah, meski sudah berusia empat tahun, dia tidak tumbuh sebagaimana anak lainnya. Fisiknya tumbuh sempurna, tapi tidak psikisnya. Bahkan, dari wajahnya saja, orang akan sudah dapat menduga, pasti ada sesuatu dengan anakku. Ya, meski terlihat manis, wajah Inayah selalu menyiratkan wajah ketolol-tololan. Dan wajah itulah yang tak dapat menutupi kenyataan bahwa anakku terkebelakang mental.

Ini penderitaan yang bagi orang lain mungkin dianggap sebagai takdir. Tapi tidak bagiku dan Dimas. Ini bukan takdir, tapi hukuman. Hukuman yang diberikan Tuhan karena dosa kami di masa lalu. Hal inilah yang membuat kami selalu menangis, karena setiap melihat Inayah, kami merasa kamilah yang membuat dia cacat begitu. Kamilah yang membuat anakku harus menderita seperti itu. Dosa kamilah penyebabnya...Tuhan tampaknya tidak mengampuni kami.

7 tahun lalu, sewaktu skripsi, aku dan Dimas khilaf, dan kami melakukan hubungan yang terlalu jauh. Akibatnya, aku hamil. Kepanikan melanda kami. Begitu haidku telat, berbagai cara sudah aku coba untuk mendatangkan haid. Segala obat pelancar, peluntur, perasan nenas, dan obat-obat dari pecinan, aku telan. Tak ada hasil. Saat ketelatanku berusia 3 bulan kurang, aku dan Dimas menyerah. Dengan menjual sepeda motornya, kami pun mendatangi seorang dokter di Solo, dan hanya dengan Rp 1,5 juta, “haidku” berhasil datang. Ya, aku menggugurkan kandunganku. Aku dan Dimas tidak siap menghadapi kenyataan itu.

Terutama aku, sangat tidak siap. Aku bahkan tidak pulang ke rumah selama 6 bulan, karena takut orang tua mengetahu perubahan di dalam tubuhku. Belum lagi kuliah yang hampir kelar, membuatku kian tak siap menanggungkan kehamilan itu.

Jangan, jangan anggap aku melakukan itu dengan gampang. Aku menangis bukan karena sakit saja, tapi karena tahu betapa besar dosa yang aku lakukan. Setelah itu, tak ada hari yang tidak aku baktikan untuk meminta ampun dari Tuhan. Dimas pun, tidak sehari pun dia meninggalkanku, selalu menemani, dan menguatkanku. Kami bahkan secara khusus bertanya pada alim-ulama, apakah dosa semacam itu diampuni. Dan jawaban ustad itu sungguh membuat aku lega. Katanya, semua dosa diampuni, kecuali menduakan Tuhan. Aku lega, lega...

Tapi tidak tiga tahun kemudian.

Ketika haidku tak lagi muncul di pernikahan ke empat bulan, aku panik. Kembali ketakutan mendatangiku. Tak henti-henti aku bersujud dan meminta ampun, memohon agar anak yang aku kandung sehat dan tak ada halangan apa pun. Semakin besar perutku, selalu aku teringat betapa aku pernah melakukan kebodohan hanya karena "rasa malu" yang tak kuat aku tanggungkan. Apalagi, selalu saja tanpa sadar aku berkata pada Dimas, "Ini anak kedua kita ya Mas. Seandainya..."

Ya, aku menghadapi kehamilan itu dengan sangat cemas. Tapi, cemasku berangsur-angsur hilang. Pemeriksaan yang rutin dari dokter, memastikan kehamilanku sempurna. Bahkan, berat badanku sangat cocok untuk ukuran anak pertama, kata si dokter. Anak pertama? Oh Tuhan.... Selalu aku menangis mendengar kalimat itu. Tidak, ini bukan anak pertamaku... anak pertamaku telah tiada...

Hasil USG menunjukkan semua sehat, dan anakku kemungkinan berkelamin perempuan. Kecemasanku kian surut. Dimas pun kian sering mendampingku, menghiburku. Dan, sampailah saat melahirkan itu. Seluruh keluarga berkumpul di rumah sakit, Dimas di sisiku, aku tak ingin dia meninggalkanku. Dan, meski dia tampak panik dan mual, Dimas menguatkan diri mendampingku. Anakku pun lahir, 3,3 kg,secara normal, meski aku sangat kesulitan mendorongnya untuk berpisah dari tubuhku. Begitu tangisnya pecah, aku dan Dimas pun menangis sejadi-jadinya. "Dia cantik, dia cantik..." bisik Dimas, "Cantik dan sempurna..."

Hari-hari selanjutnya kulalui dengan senang. Anakku memang cantik, dan sempurna. Kegembiraanku bahkan menghapus semua kegelapan masa laluku. Aku dan Dimas percaya, pertobatan kami diterima, dan Tuhan memberitahu dengan mengirimkan Inayah, yang cantik dan montok. Tapi, di usia 5 bulan, aku mulai merasa ada yang aneh dengan anakku. Responnya sangat lambat. Dia hanya bisa tertawa saja. Dan tangisnya pun tidak keras. Ketika kukatakan itu pada dokternya, ternyata respon setiap anak berbeda-beda. Apalagi, secara fisik Inayah sehat, dia sudah mulai telungkup.

Ya, kekhawatiranku reda, awalnya. Tapi, saat usia setahun, mulailah aku merasa takut. Wajah Inayah membulat aneh, seperti tak bercahaya. Ia juga sangat kecil merespon panggilanku. Tak pernah mau tertawa keras, kecuali aku kitikin tubuhnya, dan yang utama, dia jarang sekali mau mengoceh. Inayah juga baru bisa jalan saat hampir 16 bulan, dan itu saja sudah membuatku khawatir. Dan ketika kembali kubawa ke dokter, aku pun pias. Analisa si dokter, anakku mengalami sedikit keterlambatan mental. "Mungkin ada proses yang salah sewaktu hamil atau melahirkan.." katanya. Aku meraung. Vonis itu terlalu kejam bagiku. Inayah, Inayahku, mengapa harus kamu yang menanggungkan dosa Ibu, Nak...

Dimas sendiri seperti dipukul keras, tubuhnya merosot dari duduknya sewaktu dokter mengabarkan itu. Ia menangis, suamiku menangis... Bahkan, ketika di rumah, berkali-kali ia memelukku dan minta ampun, "Ini dosaku, ini dosaku..."

Hidup kami selesai sudah.

Begitulah, kini dunia menjadi suram di rumah kami. Tak ada yang bisa kami lakukan, selain mengajari Inayah apa yang seharusnya dia kuasai. Dan tiap kali wajah tanpa cahaya anakku tidak merespon perkataaan kami, selalu airmata kami menetes... Hukuman ini terlalu berat untuk kami tanggungkan.

 

(Seperti yang dituturkan Andira, Ibunda dari Inayah)

Penulis : Administrator