Bangunan Gapura Jepara Tidak Merepresentasikan sebagai Kota Ukir


Forum Grup Discussion (FGD) “Merawat Seni Ukir Jepara” berlangsung dengan serius. Ancaman terhadap eksistensi seni ukir di Jepara banyak dilontarkan pada kegiatan yang berlangsung di Gedung Serba Guna  Setda Jepara, Senin (23/4). Foto: Budi Santoso.

JEPARA- Masa depan seni ukir di Kabupaten Jepara menjadi sebuah isu besar yang terus dihembuskan untuk mendapatkan perhatian. Beberapa pihak yang peduli terhadap eksistensi seni ukir di Jepara, Senin (23/4) menggelar kegiatan FGD (Focus Grup Discussion) “Merawat Seni Ukir Jepara”. Beberapa pihak yang berkaitan dengan seni ukir di Jepara, hadir dengan semangat meluap-luap dalam membahasnya.

Ali Afandi, salah seorang tokoh senior bidang ukir di Jepara menyampaikan kekuatirannya mengenai masa depan seni ukir di Kabupaten Jepara. Menurutnya saat ini ada sebuah kondisi yang menurutnya sangat aneh terkait minat untuk mempelajari seni ukir. Banyak SDM (Sumber Daya Manusia) yang justru dari luar Jepara begitu antusias untuk bisa menguasai ketrampilan mengukir. Sedangkan SDM dari Jepara, antusiasnya malah justru sangat kecil sekali.

Situasi ini menurutnya perlu mendapatkan perhatian secara serius. Sebab Jepara dalam hal ini sebenarnya sangat bergantung pada eksistensi seni ukir. Tanpa seni ukir, Jepara bukan apa-apa dan tidak mungkin bisa eksis seperti saat ini. Kenyataan ini harus diakui oleh semua pihak. Sehingga usaha untuk menjaga seni ukir tetap hidup menjadi sebuah keharusan.

“Jepara itu daerah totogan (jalur buntu-red), tidak ada lagi jalur lain. Karena seni ukir, orang mau datang ke Jepara hingga Jepara dikenal sampai sejauh ini. Kalau seni ukir sudah mati, lalu apa yang bisa dilakukan oleh orang Jepara,” ujar Ali Afandi.

Pada kesempatan yang lain, Sukarno yang juga merupakan tokoh senior ahli ukir Jepara juga melotarkan sebuah kekecewaan terhadap perlakukan masyarakat Jepara terhadap seni ukir. Sebagai daerah yang selalu membanggakan diri sebagai kota ukir, menurutnya Jepara masih kurang sebanding dalam memberlakukan seni ukir itu sendiri.

Sukarno yang terkenal sejak tahun 70-an menyebutkan salah satu contoh paling sahih mengenai hal itu adalah bangunan gapura yang terletak di depan Masjid Agung Jepara saat ini. Gapura itu menurutnya tidak ada ‘wah’-nya sama sekali terhadap representasi Jepara sebagai kota ukir. Dirinya bahkan menyesalkan pembangunan gapura ini yang sama sekali tidak melibatkan para tokoh kompeten soal ukir. Sehingga tampilannya, menurutnya membuat para ahli ukir di Jepara merasa nelangsa.

“Lha mbok hiya sebelum membangun itu minta masukan dari tokoh-tokoh seni ukir di Jepara. Gapura kota ukir seperti itu, sama sekali tidak ada wah-nya dalam merepresentasikan diri sebagai Kota Ukir,” ujarnya.

Dengan penuh harap, Sukarno juga berharap para pelaku industri mebel dan seni ukir di Jepara untuk segera mengubah kerangka berpikir. Saat ini industri mebel di Jepara cenderung hanya menjadi pecipta barang pesanan saja. Sehingga tidak ada ide-ide baru dalam desain yang bisa dijadikan sebagai sebuah nilai tawar bagi industri di Jepara.

“Membuat barang dagangan tidak apa-apa. Tapi setidaknya para pengusaha dan pengrajin ini juga harus membuat sebuah master piece karya. Sehingga dengan demikian ada yang bisa ditawarkan dan bisa membuat ukir bisa tetap hidup. Tidak hanya sekedar kursi lipat atau produk garden lainnya,” keluh Sukarno.

Ada banyak tokoh yang berbicara dengan lantang terkait nasib seni ukir di Jepara. Sebagian besar memberikan sebuah peringatan serius mengenai eksistensi seni ukir di Jepara. Namun demikian masih ada juga harapan yang diapungkan oleh mereka. Seni ukir adalah sebuah warisan luhur dari nenek moyang. Dengan cara apapun harus tetap dihidupkan.

 

Penulis :
Editor   :