Ada aturan yang sudah berjalan dan agak lama saya baru tahu, yaitu gambar blur di televisi. Dan saya tak langsung menyadari keberadaan aturan itu karena sudah sangat jarang nonton TV (terutama TV terrestrial gratisan). Saya baru ngeh setelah tempo hari menyempatkan diri menyaksikan premier serial Dynasty Warriors (judul aslinya God of War, Zhao Yun) di channel RTV.
Aturan tersebut adalah gambar blur pada elemen-elemen tertentu dalam adegan sebuah film atau serial yang diputar di layar TV gratisan Indonesia. Awalnya, yang saya tahu diblur adalah gambar rokok, untuk kampanye no smoking. Namun setelah nonton Dynasty Warriors, saya jadi tahu bahwa yang diblur sekarang sudah almost everything.
Adegan pedang menempel leher, pedangnya diblur. Adegan seorang tokoh terluka cukup parah akibat sabetan senjata tajam, lukanya diblur. Bahkan pedang pusaka yang dihunus dari sarungnya oleh sang tokoh utama, Zhao Yun (diperankan Lin Gengxin), bilah pedangnya pun terkena aktivitas pembluran pula.
Maka hampir-hampir tak ada yang bisa ditonton, kecuali saat para tokohnya bercakap-cakap biasa saja. Lalu saya berpikir, lebih baik kembali saja ke zaman sandiwara radio ala Saur Sepuh dan Tutur Tinular. Pedang, luka, dan cantiknya sang pendekar cewek lebih asyik diimajinasikan saja, daripada nonton TV tapi tak bisa menyaksikan apa-apa.
Tudingan pun serempak ditujukan pada lembaga pengawas media penyiaran, yaitu KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) terkait hal ini. Namun belakangan KPI membantah bahwa aturan tersebut bukan berasal dari mereka, melainkan kebijakan tiap-tiap stasiun televisi. Tapi siapapun eksekutornya, aturan gambar blur yang sudah menjangkau teritori aneh-aneh ini (diterapkan pula pada serial anime dan siaran olahraga renang!) layak bila diributkan publik.
Aturannya sih secara umum tidak bisa dipermasalahkan. Blur gambar merupakan kelanjutan dari sensor. Dulu nama BSF (Badan Sensor Film) sangatlah melegenda. Film-film dan serial TV, baik buatan lokal maupun luar, harus lolos pemeriksaan BSF dulu sebelum boleh ditayangkan.
Saat sebuah produk sinema memuat adegan yang dianggap melanggar batasan moral ketimuran, gunting sensor beraksi. Lalu kita tak bisa melihat adegan seks, adegan nudity (telanjang), ciuman (terutama oleh pasangan gay atau lesbian), dan kekerasan yang terlalu vulgar. Pada era sekarang, BSF ganti nama jadi LSF (Lembaga Sensor Film) dengan fungsi yang masih sama.
Ketika zaman makin modern, teknik menggunting sudah tak lagi mendominasi. Beberapa adegan gawat tak perlu digunting, melainkan cukup diblur pada bagian-bagian yang membahayakan. Maka kita masih tetap bisa menyimak adegan dan dialognya komplet, sehingga tidak sampai kehilangan kontinuitas adegannya sesuai alur cerita.
Dan makin ke sini, elemen yang diblur makin bertambah. Rokok, cleavage (belahan dada perempuan), senjata, dan luka ikut dikaburkan. Pada beberapa tayangan bahkan pernah dilaporkan, ini merambah ke hal-hal yang menjurus absurd, misal puting laki-laki yang bertelanjang dada atau bahu terbuka perempuan yang tengah menari tradisional Jawa dengan mengenakan kemben. Habis itu menyusul payudara patung dan robot ikut dikaburkan.
Sensor tentu dimaksudkan upaya pihak berwenang untuk melindungi publik dari hal-hal yang (dianggap) berbahaya pada media siaran. Lupakan dulu perdebatan soal self-censorship yang berkaitan dengan pemahaman publik terhadap literasi media. Kita bicarakan dulu mengenai siapa sesungguhnya yang dijadikan subjek aturan blur gambar tersebut.
Jika aturan tersebut diberlakukan untuk melindungi anak-anak (PBB menyatakan, definisi anak-anak adalah siapapun yang berusia di bawah 18 tahun), keberadaannya masih bisa dipahami. Namun apakah orang dewasa juga masih ikut terkena proteksi?
Mereka yang sudah sering melihat lawan jenis (suami/istri) tanpa busana, mereka yang asyik merokok (atau mati-matian melawan rokok), mereka yang pasti pernah melihat hal mengerikan (misal ikut nolong korban tabrakan), mereka yang pasti sudah sering melihat atau bahkan mengoperasikan senjata (baik tajam maupun api), apakah masih perlu juga ikut dilindungi dari “hal-hal berbahaya” itu di layar TV?
Seriously? Sebab bukankah mereka (baca: kita semua yang berusia di atas 18) sudah bergulat dan menemui “hal-hal berbahaya” itu sepuluh kali lipat lebih sering di dunia nyata daripada apa yang dapat dilihat di layar kaca? Arti gambar yang dikaburkan bagi mereka adalah sama dengan segerombolan preman pasar yang dinasihati “Jangan berkelahi ya, Nak? Jangan saling menyakiti sesama!”. Pointless.
Dan yang kedua, ini sudah zaman modern. Koneksi internet berkecepatan tinggi sudah bukan barang aneh, yang memungkinkan kita semua untuk dengan mudah menyaksikan tayangan secara streaming via internet. Tak ada gunanya gambar diblur, karena tepat 30 atau 45 detik sesudah tayangan berakhir, kita semua bisa mencarinya di Google dan menyaksikannya ulang—versi yang original utuh tanpa “gangguan” dalam bentuk apa pun.
Maka pertanyaan besarnya sekali lagi adalah, mengapa harus susah-susah disensor dan diblur, kecuali hanya sekadar formalitas biar masih nampak sebagai bangsa alim? Dulu pada era pra-internet, sensor masih berfungsi maksimal. Kita tak punya sumber tontonan lain kecuali gedung bioskop dan televisi. Sumber alternatif ada, semisal video atau DVD yang tanpa sensor, namun baru bisa didapat dengan usaha keras—harus datang ke lapak untuk beli.
Sekarang ini, sensor jadi mulai terasa lucu dan ganjil, karena cukup lewat ponsel dan sambil ndlosor di rumah, apa yang barusan diblur bisa dilihat dengan jelas. Malah sensor dan gambar blur jadi ngasih tahu, pada menit dan detik keberapa kita harus melakukan pencarian pada versi unggahannya di YouTube!
Maka solusinya tak ada jalan lain ya dengan menghapus total aturan ini. Bukan dengan tujuan untuk membiarkan tayangan-tayangan vulgar berkeliaran bebas, melainkan dengan pengaturan mengenai pencegahan. Tayangan-tayangan yang berpotensi disensor atau dikaburkan sekalian saja tidak usah dihadirkan di layar TV free-to-air.
Dan menandainya pun cukup mudah, karena elemen-elemen rentan sensor itu pasti terkandung dalam produk-produk hiburan dari Amerika Serikat dan Eropa, yaitu yang berjenis nudity dan seks. Bisa berupa film, serial TV, reality show, atau kontes bakat seperti Idol dan The Voice. Alihkan saja tayangan-tayangan jenis ini ke kanal-kanal di dalam jaringan TV berlangganan semacam Indovision atau K Vision.
Ini juga sekaligus untuk mendorong stasiun-stasiun TV gratisan memperbanyak tayangan yang merupakan produksi sendiri. Bila itu produksi sendiri, pihak stasiun TV dan PH bersangkutan tentu sudah bisa mengatur sejak awal untuk tidak perlu mengambil gambar hal-hal yang selam ini diblur, seperti rokok, puting pria bertelanjang dada, wanita dengan bahu terbuka, atau payudara patung.
Namun sesungguhnya, layakkah hal-hal itu dikaburkan? Soal rokok, blur hanya “pernyataan politik”, bukan dalam konteks untuk melindungi warga dari rokok, wong warga sendiri asyik klepas-klepus saban menit. Soal senjata, puting pria, dan payudara robot, blur jadi absurd dan merupakan bentuk penghinaan intelektual yang amat keji. Lama-lama mangkuk tengkurep juga diblur!
Dan mengenai luka-luka mengerikan di film, bukankah anak PAUD juga tahu bahwa itu hanyalah rekayasa hasil kreasi juru rias kru syuting film? Masa harus dikasih teks penjelasan “LUKA-LUKA YANG DIDERITA BRUCE WILLIS DI FILM DIE HARD INI HANYALAH REKAYASA!” seperti di acara dagelan Raffi Ahmad dan Adul?
Namun sesungguhnya, apalah perlunya sensor bagi tayangan-tayangan dewasa? Yang nonton sudah pada gede, punya kemampuan filter sendiri. Sekali lagi, sensor pun hanyalah sekadar statemen bahwa “kita ini alim lhooo...”. Tak lebih dari semata label, bukannya alat yang sungguh dapat membuat suatu perbedaan.
Dan kita memanglah bangsa yang ahli dalam masalah label serta atribut. Selalu saja hanya dua hal itu yang diributkan.
Penulis :
Editor :