
HUJAN dan petir besar melanda daerah Peukan, Aceh Besar, 1891, saat Snouck tiba. Mungkin alam memberi isyarat, kedatangan ahli Islam itu sebagai awal sebuah bencana di Aceh. Namun, tak seorang pun warga Aceh yang curiga. Keislaman dan pengetahuannya yang luas membuat Snouck diterima sebagai seorang saudara.
Tujuh bulan di Peukan, Snouck bergaul amat rapat dengan ulama. Dan dengan diam-diam, hampir setiap malam, dia mencatat semua percakapannya dengan kaum ulama, struktur masyarakat Aceh, dan kedudukan ulama di mata rakyat. Lalu, dengan rapi catatannya itu dia persembahkan pada Gubernur Jenderal di Batavia.
"Satu-satunya cara menumpas rakyat Aceh adalah dengan membantai ulamanya. Hanya ketakutan pada pembantaian saja yang bisa meredam rakyat Aceh untuk bergabung dengan kaum ulama," sarannya.
Tak cukup dengan catatan itu, Snouck kemudian membuat buku, De Atjehers, yang memaparkan secara lengkap struktur masyarakat Aceh, kebudayaan, sampai posisi ulama. Segera buku itu menjadi terkenal, bahkan mendapat pujian dari para orientalis sebagai karya yang secara lengkap mengupas kebudayaan Islam di Aceh. Bagi Belanda, karya itu menjadi rujukan untuk menyusun taktik menghadapi perlawanan rakyat Aceh. Dan terbukti, Aceh pun kemudian dapat dikalahkan.
Muslim Politik
Sosok Snouck memang penuh warna. Bagi Belanda, dia adalah pahlawan yang berhasil memetakan struktur perlawanan rakyat Aceh. Bagi kaum orientalis, dia sarjana yang berhasil. Tapi bagi rakyat Aceh, dia adalah pengkhianat tanpa tanding! Namun, penelitian terbaru menunjukkan peran Snouck sebagai orientalis ternyata hanya kedok untuk menyusup dalam kekuatan rakyat Aceh. Dia dinilai memanipulasi tugas keilmuan untuk kepentingan politik.
Selain tugas memata-matai Aceh, Snouck juga terlibat sebagai peletak dasar segala kebijakan kolonial Belanda menyangkut kepentingan umat Islam. Atas sarannya, Belanda mencoba memikat ulama untuk tak menentang dengan melibatkan massa. Tak heran, setelah Aceh, Snouck pun memberi masukan bagaimana menguasai Jawa dengan memanjakan ulama.
Snouck berpendapat Islam bagi rakyat nusantara bukan semata-mata agama, melainkan ideologi gerakan, bahkan napas kehidupan. Karena itu, dia meminta Belanda untuk mulai mengebiri pengertian itu, dan melokalisasi gerakan keagamaan hanya menjadi semacam ritual. Dia ingin Belanda menerapkan politik "Islam Masjid", yakni memusatkan seluruh kegiatan agama hanya di masjid. Dia juga mendorong Belanda untuk mempermudah pelaksanaan haji, sebagai bujukan pada ulama.
Untuk memudahkan propaganda perbaikan kehidupan beragama itu, Snouck bahkan rela hidup sebagai muslim utuh. Di Ciamis, 1890, dia bahkan rela mengawini Siti Sadiyah, putri Raden Haji Muhammad Adrai untuk lebih diterima bergaul di kalangan ulama. Tak heran, banyak yang menyebut keislaman Snouck sebagai muslim politik, memeluk agama Islam hanya untuk mempermulus kepentingan politik Belanda. Cara yang licik luar biasa!
Snouck juga menganjurkan Belanda untuk menyingkirkan peran pesantren. Maka, Belanda pun membentuk sekolah-sekolah sekuler sebagai tandingan pesantren. Snouck bahkan terjung langsung dalam misi pendidikan itu, dan selama 17 tahun dia mencekoki anak ningrat dan menak di Jawa dengan pendidikan ala Eropa. Dia bahkan membantu anak-anak didiknya itu untuk sekolah lebih lanjut, bahkan mengirimnya ke Belanda. Semua dia lakukan agar Nusantara tak memiliki tokoh perlawanan spiritual. Praktis, setelah Aceh, Nusantara memang tak pernah lagi berjaya melawan Belanda.
Belajar Sampai Ke Mekkah
Siapa sesungguhnya lelaki yang tulisannya ini mampu menaklukkan Aceh?
Christian Snouck Hurgronje lahir 8 Februari 1857 di Tholen, Oosterhout, Belanda. Seperti ayah, kakek, dan kakek buyutnya yang betah menjadi pendeta Protestan, Snouck pun sedari kecil sudah diarahkan pada bidang teologi. Tamat sekolah menengah, dia melanjutkan ke Universitas Leiden untuk mata kuliah Ilmu Teologi dan Sastra Arab, 1875. Lima tahun kemudian, dia tamat dengan predikat cum laude dengan disertasi Het Mekaansche Feest (Perayaan di Mekah). Tak cukup bangga dengan kemampuan bahasa Arabnya, Snouck kemudian melanjutkan pendidiklan ke Mekah, 1884. Di Mekah, keramahannya dan naluri intelektualnya membuat para ulama tak segan membimbingnya. Dan untuk kian merebut hati ulama Mekah, Snouck memeluk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar.
Namun, pertemuan Snouck dengan Habib Abdurrachman Az-Zahir, seorang keturunan Arab yang pernah menjadi wakil pemerintahan Aceh, kemudian "dibeli" Belanda dan dikirim ke Mekah, mengubah minatnya. Atas bantuan Zahir dan Konsul Belanda di Jedah JA Kruyt, dia mulai mempelajari politik kolonial dan upaya untuk memenangi pertempuran di Aceh.
Sayang, saran-saran Habib Zahir tak ditanggapi Gubernur Belanda di Nusantara. Karena kecewa, semua naskah penelitian itu Zahir serahkan pada Snouck yang saat itu, 1886, telah menjadi dosen di Leiden.
Snouck seperti mendapat durian runtuh. Naskah itu dia berikan pada kantor menteri daerah jajahan Belanda. Snouck bahkan secara berani menawarkan diri sebagai tenaga ilmuan yang akan dapat memberikan gambaran lebih lengkap tentang Aceh.
Pada 1889, dia menginjakkan kaki di Jawa, dan mulai meneliti pranata Islam di masyarakat pribumi, khususnya Aceh.
Setelah Aceh dikuasai Belanda, 1905, Snouck mendapat penghargaan yang luar biasa. Setahun kemudian dia kembali ke Leiden, dan sampai wafatnya, 1936, dia tetap menjadi penasihat utama Belanda untuk urusan penaklukan pribumi di Nusantara. (Aulia A Muhammad)
Penulis :
Editor :