Menolak Lupa Orde Baru Melalui “Abri Masuk Desa”


Orde Baru merupakan bagian sejarah kelam bangsa Indonesia. Cerita  soal represifitas aparat keamanan, kebebasan berbicara dan berpendapat yang dibungkam serta kebebasan pers yang dikontrol  menjadi  fenomena yang pernah dialami oleh kalangan aktivis dan  kaum pergerakan.

Di tengah fakta sejarah yang sedikit mulai dilupakan tersebut, sineas sineas muda Purbalingga yang tergabung dalam Cinema Lovers Community (CLC) melaunching film pendek berjudul “Abri Masuk Desa”.  Film berdurasi 13 menit ini menurut sang sutradara Bowo Leksono menjadi semacam pengingat sejarah kelam Orde Baru. “Kami ingin mengingatkan kita harus menolak untuk melupakan Orde Baru. Jangan sampai  muncul dan berkuasa kembali,” katanya di sela-sela pemutaran perdana Film tersebut   di pelataran halaman GOR Mahesa Jenar Purbalingga, Sabtu (30/3) malam.

Film AMD merupakan  produksi Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jaringan Kerja Film Banyumas Raya (JKFB), dan Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga. Bowo menyampaikan film AMD didasarkan dari kisah yang pernah ia alami. “Politik represif Soeharto saat itu tidak hanya terjadi di kota-kota dengan basis intelektual, namun hingga ke pelosok desa,” ujar direktur CLC Purbalingga tersebut.

Bowo mengatakan film tersebut digarap Bulan Nopember 2018. Skenario film dia tulis sendiri. Menurutnya sudah sejak lama dia berkeinginan membuat film seperti itu. Namun karena berbagai factor, film baru digarap akhir tahun 2018. “Penggarapannya hanya membutuhkan waktu tiga hari di akhir Nopember,” terangnya.

Film itu bercerita tentang  aktivis mahasiswa, Fajar Suganda akhirnya mengalah. Ia menuruti nasihat ibunya. Berangkat kembali ke kota dimana Fajar kuliah untuk melanjutkan perjuangan menurunkan rezim represif Soeharto dengan menyuarakan Golput (Golongan Putih). Peristiwa intimidasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di awal tahun 1997 menjelang Pemilu terakhir Orde Baru telah menorehkan luka yang tak terlupakan. Fajar dibenturkan dengan sesama pemuda di desanya sebagai strategi ABRI saat itu untuk menangkapnya.

Pemutaran perdana ini merupakan program pemutaran bulanan CLC Purbalingga Bioskop Rakyat sekaligus dalam rangka Hari Film Nasional (HFN) ke-69 yang jatuh tepat pada 30 Maret. Hari bersamaan, film berdurasi 13 menit ini juga diputar di ruang Fikom Universitas Teknologi Sumbawa (UTS), Nusa Tenggara (NTB) Barat kerjasama Sumbawa Cinema Society (SCS).

Salah satu penonton, Hasdian Kharisma Priani, merasa mendapatkan gambaran yang cukup bagaimana kondisi perpolitikan saat itu. “Saya lahir setahun setelah Soeharto lengser, lewat film ini saya dapat merasakan bagaimana saat itu orang dibatasi untuk berpendapat,” ujar mahasiswi jurusan teater Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta asal Purwokerto.

Sementara narasumber lain, Andi Prasetyo, yang juga aktivis ’98 menilai film AMD mambuka fakta sejarah Orde Baru kepada anak-anak muda sekarang. “Bahwa kondisi demokrasi sekarang lebih baik, orang bebas berbicara lewat media sosial namun harus tetap dapat dipertanggungjawabkan,” tutur pengajar Bahasa Indonesia di SMP Negeri 3 Purbalingga itu.

Penulis : Joko Santoso
Editor   : edt