Wayang Kentrung Asih Wirama pimpinan Pdt Petrus Mardiyanto atau Ki Arya Aldaka mengisi renungan sebelum Temu Budayawan III Sinode GKJ dimulai. Foto: Widiyartono R
SEMPATKAH kita berpikir, bagaimana sebuah kancing baju (benik) bisa terpasang di baju kita? Hanya sekadar kancing baju, yang menempel di baju. Kancing baju atau benik itu adalah sebuah produk budaya, yang dihasilkan ketika manusia ngulir budi atau mengolah akal budinya untuk menghasilkan sesuatu. Tetapi begitu benik itu tercipta tent tidak serta-merta langsung terpasan di baju.
Si benik ini harus didistribusikan ke penjual, kemudian dipajang di etalasae. Benik ini membutuhkan pembuat etalase juga, sebelum sampai ke baju. Juga membutuhkan jarum dan benang untuk bisa dipasang di baju. Berarti butuh orang yang menciptakan jarum dan benang, dan barang itu juga tidak serta-merta langsung sampai ke penjahit.
Itulah ilustrasi yang disampaikan Dr Sudaryanto, pakar linguistik yang berbicara mengenai pilar-pilar budaya Jawa dalam Temu Budayawan III GKJ (Gereja Kristen Jawa) yang diselenggrakan Lembaga Kajian Budaya Jawa GKJ di Padepokan Mitra Kinasih, Purworejo Kamis-Jumat (21-22/9).
Hal ini, kata Dr Sudaryanto, menunjukkan bahwa budaya itu merupakan produk hasil olahan akal budi (ngulir budi). Dan, itu saja tidak cukup. Harus ada keguyuban, kebersamaan, saling dukung, saling bantu agar kebudayaan itu berjalan. Budaya harus diciptakan, tetapi keterlibatan pihak-pihak lain sangat dibutuhkan, bukan semata kreator saja
Tetapi kreator ini saja belum cukup, karena juga dibutuhkan penghadir atau aktualisator. Keberadaan penghadir ini menjadikan produk budaya itu dikenal orang lain. Namun, masih saja dibutuhkan apa yang disebut pelestari atau cultivator, untuk mempertahankan yang sudah ada. Kehadiran fasilitator sebagai pemerlancar juga diperlukan.
Proses berikut adalah kehadiran pemanfaat, dan ada yang memanfaatkan produk budaya itu untuk hal yang di luar maksud kreator. Misalnyaempu menciptakan keris dengan tujuan menjadi senjata, tetapi kini keris “dimanipulasi” menjadi hiasan atau sekadar cindera mata. Kemudian satu lagi pihak yang terlibat dalam kebudayaan adalah penikmat atau apresiator.
Ternyata diperlukan proses panjang dan keterlibatan banyak pihak untuk menhasilkan sebuah produk kebudayaan hingga sampai kepada pemanfaatannya. Bisa jadi seorang pelibat menyandang status ganda atau multistatus. Seorang creator baru benar-benar bermakna bila kreasinya bisa dinikmati apresiator. Hanya saja, problem di Indonesia, menurut Sudaryanto, kreatornya kurang, dan kreasinya tidak sampai kepada penikmat karena kurang berfungsinya kultivator dan fasilitator.
Lima Pelibat
Sebuah produk atau kreasi budaya memerlukan keterlibatan sekurangnya lima pihak. Salah satu pihak adalah seniman, yakni manusia beserta lingkungannya yang bermasalah, kemudian ilmuwan berkaitan dengan permasalahan manusia beserta lingkungannya, dan wartawan berkaitan dengan upaya manusia dan lingkungannya untuk mengatasi masalah.
Kemudian ada yang disebut patiman orang/pihak yang berperan dalam kaitan pathos (rasa) sehingga ada simpari, empati, antipasti, bahkan apatis. Patiman ini berkaitan dengan hasil upaya manusia dan lingkungannya dalam mengatasi masalah. Dan yang terakhir filsuf, berkaitan dengan hubungan mendasar dan menyeluruh yang digeluti empat jenis pelibat itu.
Dari sinilah kemudian Sudaryanto bisa merinci peran itu dalam kaitannya dengan Pancasila. Untuk sila kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab itu peran ada pada seniman yang memandang manusia dan lingkungannya yang bermasalah. Untuk sila ketiga Persatuan Indonesia, di sinilah peran wartawan. Dengan berita-berita dan tulisannya mengajak warga guyub bersatu. Kemudian Kerakyatan dalam sila keempat adalah peran ilmuwan yang mencari tahu permasalahan yang terjadi manusia dan lingkungannya. Sedangkan peran patiman yang dalam hal ini pengusaha, politikus, dan rohaniwan/ulama berperan dalam penciptaaan keadilan sosial. Mereka harus bisa berempati, bersimpati dan kemudian melakukan hal yang bisa menyejahterakan rakyat. Sedangkan Ketuhanan Yang Masaesa menjadi peran filsuf, yang mengutamakan logika, etika, estetika dan maklum atas sesuatu demi kehidupan serba arif.
Jawa Bukan Tanah
Sementara itu dalam temu budayawan warga GKJ yang dihadiri jemaat dari Jateng, DIY, Jabar, dan DKI mewakili masing-masing gereja dan sinodenya dibahas tentang makna kata Jawa dalam Gereja Kristen Jawa. Dalam mukadimah Tata Laksana dan tata Gereja memang sudah disebut, “Jawa” itu bukan hanya lokasi (tanah Jawa) tetapi juga budaya yang terkandung di dalamnya. Maka, GKJ harus menjadi pelestari dan pewaris budaya Jawa dan meneruskan pewarisan itu bagi generasi berikutnya.
Hal yang banyak dibicarakan adalah masalah bahasa Jawa yang tidak lagi dikuasai atau setidaknya tidak dikuasai dengan baik oleh sebagian besar jemaat. Maka ibadah menggunakan bahasa Jawa pun menjadi sangat berkurang, padahal itu menjadi salah satu ciri GKJ.
Dalam diskusi kelompok muncul usulan, misalnya khotbah berbahasa Jawa sekurang-kurangnya sebulan sekali harus dilakukan. Mengenai majelis dan jemaat yang kurang menguasai bahasa Jawa diperlukan lokakarya dan pelatihan bahasa Jawa. Untuk pendeta yang bahasa Jawanya kurang, mengingat ada juga pendeta GKJ yang berasal dari Batak, misalnya, juga diperlukan pendampingan. Para pendeta diupayakan untuk tetap bersedia khotbah menggunaan bahasa Jawa, dengan bantuan dan dukungan majelis yang mampu berbahasa Jawa.
Selain bahasa juga budaya Jawa yang lain bisa dimasukkan dalam ibadah, misalnya pada hari-heri besar tertentu, majelis dan pengkhotbah mengenakan pakaian tradisional Jawa. Ada juga masukan, GKJ memperhatikan tradisi Jawa di desa-desa, misalnya selamat ketika mau panen (wiwit). Ini bisa dilakukan dengan doa-doa Kristiani.
Bahkan, seorang utusan dari Temanggung mengatakan, di gereja juga diadakan bidston (persekutuan doa) menyongsong datangnya bulan Sura yang merupakan tahun baru Jawa. “Kami bidston dengan mengepung nasi golong yang kami makan berdama, sebagai ungkapan syukur atas datangnya tahun baru,” kata Prihono dari GKJ Temanggung.
Memang, yang perlu disadari adalah, mereka ini orang Jawa yang Kristen, sehingga tidak harus menjadi orang Israel asal agama Kristen dan tidak harus menjadi orang Belanda yang membawa Kristen ke Indonesia. Tetapi harus menjadi orang Kristen yang tetap bersandar pada budaya Jawa, yang tidak bertentangan dengan Alkitab.
Penulis :
Editor :