Zonasi untuk Pemerataan Pendidikan, Mindset Harus Diubah


MEMAPARKAN -  Ketua PGRI Jateng, Widadi SH saat memberikan motivasi sekaligus pencerahan dalam halal bihalal keluarga besar PGRI Jateng, Minggu (23/6). Foto dok

SEMARANG, WAWASAN.CO – Kebijakan sistem zonasi pada Pendaftaran Penerimaan Siswa Baru (PPDB), perlu didukung oleh semua pihak. Hal ini tidak terlepas dari tujuan zonasi, yakni memberikan keadilan dan pemerataan kesempatan seluruh siswa agar mampu bersekolah.

“Sistem zonasi tersebut bertujuan baik, demi terlaksananya pendidikan yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat. Dulu muncul paradigma sekolah favorit, nilai bagus kumpul di satu sekolah, eksklusifnya lagi, secara ekomo lebih mampu. Sementara masyarakat, yang disekitarnya anak kurang mampu  hanya menjadi penonton. Untuk itu, perlu adanya afirmasi keberpihakkan,” papar Ketua PGRI Jateng Widadi SH, disela Halal Bihalal Keluarga Besar PGRI Jateng di Balairung UPGRIS Semarang, Minggu (23/6).

Menurutnya, dengan tujuan yang luhur itu memang akan sedikit sulit untuk mewujudkannya. Terbukti sejak diujicoba dari tahun 2016, hingga kini sistem zonasi masih menjadi polemik. "Kenapa menjadi polemik? Karena mengusik kenyamanan. Dulu yang biasa kumpul sesama anak berprestasi dan mampu, kini harus bercampur dengan yang lain," imbuhnya.

Untuk itu mindset atau pola pikir siswa dan orang tua wali murid harus diubah. Menurutnya selama ini orangtua beranggapan, masa depan anak ditentukan oleh di mana dia bersekolah. Mengubah mindset itu memang menurutnya butuh proses. Polemik yang ada saat ini adalah bagian dari proses tersebut.

"Padahal perlu diingat bahwa sekolah itu hanya sepertiga dari proses pendidikan. Ada aspek lain yang lebih besar yakni keluarga dan lingkungan. Katakanlah anak punya nilai 10 di sekolah, di keluarga didiamkan, lingkungan justru merusak, masa depannya juga tidak akan terjamin anak tersebut," tandasnya.

Rotasi Guru

Mindset guru juga harus diubah. Untuk mewujudkan pemerataan pendidikan, bukan hanya persebaran siswa yang harus diatur, namun juga sarana sekolah, hingga pemerataan sumber daya pengajar yang akan diatur ulang persebarannya.

“Jangan menjadi pintar sendirian, namun menjadi pandai bersama-sama. Guru yang memiliki kemampuan mendidik dengan baik, tidak akan lagi berkumpul di satu sekolah. Rotasipun kemudian dimunculkan dengan catatan, masih dalam satu zona,” tandasnya.

Dihadapan para pengurus PGRI se-Jateng, yang notabenenya guru tersebut, Widadi meminta agar mereka tidak mengedepankan ego. Merasa sudah nyaman di sekolah tertentu, lalu keberatan saat akan dirotasi.

"Jangan mengedepankan ego. Kita cenderung seperti itu. Pola pikirnya, ‘saya sudah enak di sini masa dipindah?’. Namun kembali lagi, harus diingat idelaisme cita-cita sebagai guru, harus siap mengajar di manapun. Guru itu kan tidak boleh memilih mengajar yang pintar saja, yang sudah jadi. Namun harus mampu mendorong mereka yang masih kurang," tegas Widadi.

Terlebih menurutnya hal itu harus dipahami benar oleh guru sekolah negeri, yang dibiayai pemerintah melalui pajak masyarakat . Ia kembali menekankan sekolah negeri adalah fasilitas publik bukan masyarakat eksklusif. "Kalau mau eksklusif ya buat sekolah sendiri, silakan jika mampu membiayai," tandasnya.

Widadi meminta guru harus siap menghadapi rotasi, bila memang diperlukan untuk mendukung skema zonasi dalam penerimaan peserta didik baru. Dihadapan hampir seribu orang guru dari Jateng, dirinya meminta mereka untuk mengesampingkan ego.

"Sebelum muncul ide zonasi dalam penerimaan peserta didik baru, kan ada paradigma sekolah favorit. Zonasi dimunculkan untuk menghapus paradigma itu, untuk mewujudkan pemerataan pendidikan," pungkasnya.

Penulis : arr
Editor   : edt