Tak pernah kusangka, niat baik yang kubenihkan, kelak tumbuh menjadi pohon penderitaan. Dan aku harus menyembunyikan penderitaan ini, bertahun-tahun. Tapi, kini, kurasakan batinku sudah tak kuat lagi. Airmata yang kutumpahkan sudah tak lagi memberi keringanan pada bebanku.
Menikah, barangkali menjadi impian kebahagiaan semua orang. Aku pun pernah membayangkan demikian. Tapi kenyataan berbicara lain. Menikah ternyata hanya membuatku memamah sengsara, terzalimi. Memang bukan siksa fisik yang kudera, melainkan beban batin yang sangat sulit aku ungkapkan.
Perkenalanku dengan Irwan berlangsung karena penasaran semata. Di kampus, dia acap menjadi topik pembicaraan rekan-rekannku, dengan nada miring. Bahkan, sewaktu aku ikut dalam kegiatan pengajian, seorang senior mengatakan, "Jangan berdekatan dengan Irwan. Dia sesat." Semakin aktif aku dalam kegiatan itu, Irwan kian muncul sebagai hantu, acap dibicarakan tanpa aku tahu wujudnya. Sampai satu ketika, aku bertemu dia, ketika menghadiri sebuah seminar universitas. Dia jadi pembanding diskusi pemikiran Nurcholis Madjid. Dan aku terpesona. Dia terkesan pintar, dan pandai mengomunikasikan ide-idenya. Apa yang harus ditakuti? Tapi kami belum sempat berkenalan.
Barangkali beberapa hari setelah itu, kami bertemu di kampus. Dan, percakapan yang pertama keluar dari bibirnya adalah, "Kenapa kamu berjilbab?" Aku kaget. Dia tak menanyakan namaku, dan dengan entengnya bertanya hal itu, di antara temen-teman yang juga duduk di sekitar kami. Aku mencoba tak menjawab, tapi ia menunggu. "Ini pilihanku," kukatakan begitu, sebelum dia berlalu.
Selanjutnya aku tahu banyak tentang dia, karena kami akhirnya dekat. Dan, satu yang tak bisa aku terima darinya, ia tak pernah salat. Dan kalau aku tanya kenapa, ia berkata, "Ini pilihan sadarku." Sebuah jawaban yang sulit untuk didebat. Tapi hal itu tak membuat kami renggang. Selain masalah ibadah, dia memang memesona. Apalagi, aku ada misi untuk membuatnya berubah.
Ketika hubungan kami meningkat, aku mengajukan satu syarat: dia harus salat. Dan aku bersorak, dia patuh. Bahagia rasanya bisa salat berjamaah bersama. Dan puasa tahun itu, aku lewati dengan bahagia, karena berada di samping seseorang yang kunilai baru sama sekali, yang rajin menemaniku tarawih, salat subuh, dan mengaji. Ayah dan ibu yang semula tak suka dengannya, perlahan mulai mengajaknya bicara. Di rumah, ayah bahkan sudah terbiasa mengajaknya salat berjamaah. Aku bangga, merasa berhasil mengubahnya.
Ia yang lebih tua empat tahun dariku, setamat kuliah langsung bekerja. Semula dia menjadi teknisi di sebuah perusahaan penjualan komputer. Namun, dua tahun setelah itu, ia dan beberapa rekannya membuka usaha sendiri warnet-game dan penyediaan software dan hardware komputer. Waktu itu bisnis sejenis belum banyak terdapat di Solo, sehingga usahanya boleh dikatakan cepat berkembang. Ia kemudian melebarkan usaha dengan membuka bisnis tukar-tambah mobil bekas. Dan kukira sangat sukses. Dan, di tengah kesuksesan itulah kami menikah, setelah aku tamat kuliah.
Perkawinanku sangat berbahagia. Begitu pada awalnya. Tapi, saat aku hamil, mulai kurasakan perubahan drastis pada Irwan. Ia tak lagi lembut. Bicaranya pun hanya seperlunya. Dan yang paling utama, dia kian jarang di rumah. Alasannya sibuk. Yang tak berubah adalah pendanaan rumah tangga, yang kunilai sangat berlebih. Semula, perubahan ini aku anggap bagian dari pengorbanan yang harus aku bayar atas kesuksesan dia. Tapi, lama-lama, aku mulai tahu, dia jarang salat. Bahkan, ketika kandunganku kian menua, kusadari, dia tak lagi pernah salat. Kalau kuajak, ada saja alasannya. Capai, lelah, dan aneka macam dalih, sampai sumpah serapah. Ya, Irawan, Masku itu, telah berubah.
Ketika anakku lahir, ia pun tak menunjukkan perhatian yang lebih padaku. Bahwa ia sangat sayang pada Rehan anak kami, tak dapat aku bantah. Tapi, sampai usia anakku setahun, satu hal yang aku sadari, Irwan hanya beberapa kali saja menggauliku. Ia bahkan menyentuhku seperti karena terpaksa, tanpa peluk-cumbu. Ada apa ini?
Lalu, tanpa sengaja aku menemukan sesuatu: batu akik, rajah di kulit, dan sabuk kain di dalam tasnya. Lebih dari itu, aku juga tahu, ia selalu membaca sesuatu saat masuk rumah, dan selalu mandi dengan air yang baru, bukan air yang sudah menginap di dalam bak kamar mandi. Ada apa ini? Apakah Mas Irwan berdukun? Aku tak akan marah dengan kekakuan sikapnya. Aku tak akan marah meski ia tak menggauliku, itu haknya. Aku juga masih berharap dia berubah dan mau salat kembali. Tapi, kalau dia sudah berdukun, aku marah. MARAH!
Malam itu aku ajak dia bicara, aku tanyakan tentang akik dan jimat-jimat itu. Tapi, radangku ternyata kalah hebat dari amarahnya. Dia yang sepanjang dua tahun pernikahan kami tak pernah main tangan, malam itu menendangku. Dan satu perkataannya yang paling aku ingat adalah: "Dasar gadis sial, tidak tahu diri!"
Aku menangis? Apa maksudnya dengan perkataan itu? Apa kesialan yang aku bawa? Apa? Aku marah, aku marah, dan aku tanya alasannya. Tapi dia bungkam. Ia bahkan meninggalkan rumah pukul 1 malam itu, tak kembali, sampai seminggu. Dan ketika kembali, ia bahkan membawa daun pisang muda ke kamar mandi. "Biar aku tak terikut kesialanmu," sumpahnya waktu kutanyakan.
Tuhan, suamiku berdukun. Dan ia lebih percaya kepada dukun itu daripada kepadaku. Tolonglah hamba-Mu ini, Tuhan? Dalam panik, aku mencoba menghubungi paman Mas Irwan di Semarang. Dan hasilnya aku dapatkan: Mas Irwan memang berguru pada seseorang. Telah satu tahun dia mengikuti guru spiritual itu, bahkan secara ekonomi membantu guru tersebut, seorang perempuan tua asal Manado. Aku minta dipertemukan dengan "guru" itu. Tapi Paman menolak. Dia lebih takut pada Mas Irwan daripada Tuhan. Lalu aku mendesak pada Mas Irwan, dan dia juga menolak. Dia hanya memintaku untuk membaca sebuah mantra tiap subuh dan tengah malam. Aku menolak. Aku tak mau menyekutukan Tuhanku, apalagi dengan mantra yang tidak aku ketahui untuk apa, dengan bahasa yang juga tidak aku pahami. Ini gila. Dan Mas Irwan marah. Ia akhirnya tak pernah mau pulang ke rumah.
Aku tak putus asa. Kuhubungi adiknya. Dan dari Isman, adiknya, aku ketahui, Mas Irwan telah punya istri lagi. Mereka telah dinikahkan oleh sang "guru". Masya-Allah, apalagi cobaan yang menimpaku ini. Aku meraung, menangis, sampai memeluk Rehan. Aku mencoba menghubungi Bapak, tapi selalu saja aku tak bisa cerita. Mereka hanya tahu rumah tanggaku sedang bermasalah, tapi tak tahu apa. Dan aku kian remuk, kian kurus. Waktu aku datangi Mas Irwan ke kantor, dengan enteng dia berkata, "Hanya perempuan itu yang dapat mencegah kesialan kamu."
Akhirnya aku tahu. Ternyata, setelah menikahi aku, usahanya mandeg, bahkan nyaris bangkrut. Pelan tapi pasti, bisnis tukar-tambah mobilnya memburuk. Juga usaha lainnya. Teman-temannya malah keluar dan membentuk usaha sendiri. Ia mencari sebab, dan "guru spiritual" itu menunjuk aku sebagai biang semua keburukan ekonomi itu. Ya Allah, sungguh aku tak dapat mengerti, bagaimana Mas Irwan bisa membenarkan pendapat yang jauh dari nalar itu.
Kini anakku sudah berusia 3 tahun, dan aku telah dua tahun berada dalam penderitaan begini. Uang belanja yang semula lancar, kini tak ada lagi. Ia hanya memberi uang susu untuk Rehan. Selebihnya, ia tak pernah datang. Hanya dua minggu sekali, ia mengirim orang untuk menjemput Rehan dan diajak ke rumahnya dengan istri pilihan "guru"-nya itu. Dan aku tak tahu harus berbuat apa. Ayah dan ibu yang akhirnya tahu, sudah memintaku bercerai. Apalagi, secara batin dan lahir, aku telah tak lagi dinafkahi, lebih dari satu tahun. Tapi, aku tak berani memikirkan itu, tak berani. Aku takut dengan nasib Rehan, yang akan besar tanpa ayah. Aku juga merasa masih berhutang pada Mas Irwan, untuk menyadarkannya, untuk kembali ingat pada Tuhan. Aku tak mau bercerai, karena aku tak ikhlas menyerahkan Mas Irwan pada perempuan itu, yang kian menjauhkannya dari agama. Aku juga tak mau bercerai, karena aku percaya, tak ada sedikit pun kesialan yang aku bawa.
Tuhan, tolonglah hambamu ini. Tunjukkanlah padaku jalan, sehingga aku tahu, apa yang harus aku lakukan menghadapi semua cobaan terberat-Mu ini. Tuhan, aku ini lemah, dan hanya kepada-Mu aku berserah.
(Sebagaimana pengakuan Sdri Ny. N Arifah kepada Langit Shiva)
Penulis : Administrator