Baru delapan tahun aku menikah, tapi kebosanan dan kejenuhan telah membuatku putus asa untuk mempertahankan pernikahan ini. Hanya dua anakku yang membuat diriku masih bisa bertahan.
Tapi sampai kapan? Haruskah kukorbankan kebahagiaanku sendiri atas nama anak-anak? Haruskah kusembunyikan tangisku dari mata mereka, nyaris setiap kali aku tak lagi tahan menghadapi penderitaan ini? Haruskah aku menjadi lilin dan hancur demi cahaya masa depan anak-anakku? Tidak adakah cara lain?
Mungkin pembaca menilai aku seorang pengeluh. Tidak. Selama 7 tahun pernikahanku, tak ada satu pun keluhan yang aku keluarkan. Baru di tahun terakhir ini, aku tak lagi mampu berdiam. Tak ada lagi sisa hatiku untuk menyimpan semua kesakitan ini, dan merahasiakan airmataku. Ya, setahun ini aku menjadi menyadari, betapa sia-sianya hidupku dalam pernikahan ini. Betapa makin kusadari, pernikahan ini justru menjadi penjara bagi kebahagiaanku. Pernikahan yang menjadi neraka.
Ya, aku menikah setelah tamat SMA. Sebabnya satu, aku hamil. Maka, kubuang cita-citaku untuk kuliah, dan kuhadapi hidup bersama kekasihku. Dan karena dia anak dari keluarga yang mampu, meski kami menikah, suamiku tetap kuliah. Aku pun bekerja di sebuah percetakan, menjadi staf. Mungkin karena wajahku yang cukup cantik, sehingga ijasahku yang SMA dianggap cukup untuk bekerja di perusahaan itu. Atau mungkin karena koneksi mertua, entahlah.
Setahun menikah, anak kami lahir. Fitria, itulah namanya. Perempuan yang cantik. Dan dua tahun kemudian, kuliah suami kelar. Ia lalu membuka usaha sendiri atas bantuan ayahnya. Dan pelan tapi pasti, usaha itu maju. Mungkin karena modal yang kuat, dan relasi yang cukup, yang membuat bisnis suamiku kian melesat. Kehidupan ekonomi kami pun kian mapan. Dan seperti takdir alam, kian besar kemampuan lelaki memenuhi tuntutan ekonomi keluarga, kian dia merasa berkuasa.
Suamiku, Irfan, sosok yang pendiam dan gila kerja. Dia memang mencintaiku, aku tahu itu. Tapi, dia tak pernah mampu menunjukkan rasa cintanya. Setelah anakku yang kedua lahir, Ilham, dia pun memintaku untuk keluar dari pekerjaan. Katanya, gaji yang aku peroleh tidak sebanding dengan waktuku di luar rumah. Terus-terang, aku juga ingin berhenti bekerja dan dekat dengan anak-anak. Tapi, ketika dia menghina gajiku, harga diriku bangkit. Sedangkan aku bekerja saja dia sudah main hina, apalagi kalau aku hanya "menadahkan" tangan saja padanya. Tentu cacian dan hinaan itu kian banyak.
Dan, tidak berhenti bekerja pun ternyata hal itu sama saja, terjadi juga. Irfan berkali-kali menghina penghasilanku. "Dengan uang sejutaan begitu, kamu dapat apa? Mendingan bantu aku di kantor, atau di rumah. Masa gaji kamu hampir sama dengan gaji pembantu kita..." begitulah dia berkata. Aku sedih sekali, tapi tak pernah kutunjukkan. Dan keberterimaanku itu ternyata tak mengubah perilaku suamiku. Dia jadi makin sering main hina dan berkata kasar. Jika aku mengeluh capai dan tidak mau intim, misalnya, dia akan marah-marah dan teriak-teriak. "Siapa yang suruh kamu kerja?" Maka, kadang dengan menangis aku melakukan kewajibanku sebagai istri. Rasanya tersiksa sekali.
Jika malam dan anak-anak menangis, tak pernah sekali pun Irfan mau meninabobokan anak-anak. Katanya itu tugasku. Tugas dia mencari nafkah yang cukup, dan itu sudah dia lakukan.
"Salahmu sendiri bekerja, jadi jangan mengeluh kalau capek," katanya.
Karena itulah, kadang dalam kalut aku sering melampiaskan marah pada anak-anak. Fitria misalnya, pernah aku "hajar" gara-gara menangis dan tidak mau diam. Aku mandikan dia sambil aku marahi dan aku cubit. Tapi setelah sadar, aku menangis. Rasanya pedih sekali menyadari anakku menjadi pelampiasanku atas ketamkmampuanku meghadapi suami. Anak-anakku yang menjadi korban.
Di tahun kelima, kekasaran suami kian menjadi. Ketika gajiku melonjak, dia malah tak menyambut, hanya mendengus. Memang, dibandingkan pendapatannya, gajiku tidak seberapa. Tapi tidakkah dia bangga, kalau istrinya juga memegang posisi di kantor. Irfan selalu meremehkanku. Dan mertua pun selalu mendukung permintaan suami agar aku tidak bekerja. Tapi aku tidak bisa. Dengan bekerjalah aku bisa melepaskan semua beban batinku. Dengan bekerjalah aku bisa melepaskan semua kesakitan akibat penghinaan dia. Dengan berprestasilah aku dapat membuat suamiku membuka mata, bahwa istrinya punya kemampuan.
Kini, setelah penghasilanku cukup, aku mulai berpikir untuk mengakhiri "kekerasan" dari suami. Dengan gajiku, aku mampu untuk menghidupi dua anakku, cukup. Aku cuma masih berpikir, apa jadinya anak-anak tanpa seorang ayah. Tapi, apa juga jadinya jika mereka nantinya tahu ibunya selalu menyimpan airmata karena kekerasan yang dilakukan ayahnya.
Pembaca, aku masih muda. Aku layak mendapatkan kebahagiaanku. Aku tak ingin menghabiskan usia bersama seseorang yang menunjukkan cintanya hanya dengan harta. Aku tak ingin membentuk pribadi anakku dengan pertengkaran dan penghinaan, dengan kesedihan dan airmata.
Jujur, kini aku tak sanggup lagi menutupi kesedihan ini di mata anak-anak. Tak bisa lagi berbohong jika mereka bertanya, kenapa mataku membengkak, kenapa aku menangis, kenapa aku selalu tidur bersama mereka, kenapa aku tak saling sapa dengan ayah mereka. Pembaca, benarkah langkahku jika memutuskan berpisah dari suamiku? Ataukah harus aku hadapi terus penderitaan ini, bersabar dan berharap suami berubah? Tolong, tunjukkan jalan untuk kebahagianku dan anak-anak.
(Curhat Ny Irfan, Semarang)
Penulis : Administrator