
Ketika saya mulai menulis ulasan ini, penonton film Kartini (2017) sudah melampaui 300.000 orang belum genap seminggu tayang. Angka yang fantastis untuk sebuah film biopik di perfilman Indonesia.
Namun bukan angka yang mengejutkan apabila mengetahui di balik film ini ada seorang Hanung Bramantyo. Beberapa kali diganjar sebagai sutradara terbaik — di antaranya dalam film Brownies ( 004) dan Get Married 2007), tangan dinginnya lebih dari cukup menjamin seperti apa kualitas film Kartini garapannya ini.
Pertanyaannya apakah Kartini tetap mencapai angka ‘’segitu’’ apabila bukan Dian Satro yang memerankannya? Bahkan konon, angka itu diperkirakan bisa jauh lebih besar lagi jika berita miring perihal sikap Dian yang kurang simpatik ke penggemarnya beberapa hari lalu tidak tersebar.
Saya bukan haters Dian Tapi mungkin apa yang akan saya sampaikan ini membuat pedas telinga penggemar garis keras Dian Sastro. Jujur saja, saya datang ke bioskop untuk menonton Kartini tanpa ekspektasi berlebihan. Bagi saya, puja-puji untuk (akting) Dian Sastro sudah melewati klimaksnya. Saya sadar sesadar-sadarnya, film yang akan saya tonton ini adalah biopik sekelas Piala Citra namun diperankan aktris yang tidak tepat.
Kenapa harus Dian Sastro?
Saya kira sebagian besar kita tahu alasannya. Baiklah, saya kasih tahu dengan singkat: memproduksi film itu tidak murah. Sudah mengerti, kan?
Dari kursi tempat saya duduk, saya membayangkan wajah Kartini itu diperankan oleh seorang aktris pendatang baru hasil audisi ketat yang usianya baru lepas belasan tahun. (Sebentar saya juga membayangkan wajah seorang wanita yang sangat familiar, berusia 35 tahun dan beranak dua).
Bahkan menurut saya, Sekar Sari, pemeran utama di film Siti (2014) lebih cocok memerankan Kartini. Sial!
Berpindah ke masalah teknis, di luar kesuksesannya memanusiakan sosok Kartini, Hanung sendiri mengemas film ini bukan tanpa cela. Adegan imajiner Kartini bertemu tokoh dalam buku yang dibacanya atau sahabat penanya yang muncul beberapa kali di film ini bagi saya sangat mengganggu. Menyampaikan isi buku atau surat itu lewat voice over akan lebih baik.
Sama buruknya narasi yang terlalu banyak di film ini. Alih-alih menjelaskan runut cerita, narasi yang muncul justru merusak imajinasi yang hendak dibangun di pikiran penonton. Penulisan di narasinya juga banyak melanggar ejaan Bahasa Indonesia. Duh!
Di luar semua itu, film ini sangat layak ditonton. Salah satu film Indonesia terbaik tahun ini. Angkat topi buat Hanung.
Selamat menikmati Kartini. Selamat menikmati Dian Sastro.
Penulis :
Editor : awl