Solusi Parkir Digital

  • Opini Taryoko ST MM

Beberapa waktu lalu, muncul trending pembicaraan tentang dugaan ormas yang sedang memaksakan kehendak untuk mengambil konsesi perparkiran. Banyak yang menyayangkan peristiwa itu. Karena perparkiran seyogianya dikelola oleh dinas perparkiran pemerintah daerah/kota,  yang hasilnya bisa membantu secara signifikan pendapatan daerah tersebut.  Tulisan ini mencoba memberikan alternatif mekanisme pengumpulan(collecting) uang parkir non-swasta dengan bantuan teknologi yang murah namun tepat guna.

Sistem perparkiran sekarang, menggunakan jasa orang (juru parkir) sebagai tenaga collector.  Mereka bertugas mengatur, sekaligus mengumpulkan uang parkir, secara tunai. Sistem ini rawan kebocoran. Apalagi jika tanpa tiket karcis. Pemerintah kota tidak pernah tahu secara pasti berapa uang yang terkumpul dengan cara seperti ini. Karena jika sudah berbentuk uang tunai, maka uang tersebut bisa langsung digunakan (mereka menggunakan istilah “pinjam dulu”) oleh para juru parkir.  Kelemahan lainnya adalah hal ini kadang menyulitkan pengendara yang harus menyediakan “uang kecil”.  Termasuk juga, seringkali mencari uang kembalian membutuhkan waktu yang lama.

Jika kita melihat operator parkir swasta di kota besar, maka mereka sudah setengah memaksa para pengendara untuk menggunakan e-money sebagai alat pembayaran. Tidak ada lagi pembayaran tunai. Kajian mereka menyimpulkan bahwa dengan transaksi non tunai, maka banyak sekali yang diuntungkan. Transaksi lebih cepat, tenaga orang lebih sedikit, dan uang yang masuk tidak ada kebocoran (zero leak).  Tentu saja, saat awal penerapan system non-tunai ini mengalami hambatan disana sini. Namun, pelan pelan kita bisa melihat orang makin banyak yang menggunakan pembayaran non tunai.

Namun kita tidak bisa langsung berubah total. Sejarah merekam bahwa jika ingin berubah, kita harus melakukan secara gradual. Pelan pelan melewati masa transisi perpindahan. Demikian juga jika ingin diterapkan di dunia perparkiran. Kita tidak bisa langsung sekaligus menggunakan system yang non tunai dan tanpa juru parkir, sebagaimana di negara maju. Kita masih belum bisa mengandalkan kesadaran membayar parkir menggunakna meteran parkir.  Disamping itu, harga mesin meteran parkir juga relatif mahal. Sehingga solusi yang ditawarkan kali ini adalah kombinasi sistem parkir jukir dan non tunai.

 

Cara Kerja

Karena keterbatasan ruang media ini maka disini akan diuraiakan tentang alur garis besar cara kerja parkir non tunai ini.

Perlu dibuatkan barcode parkir.

Barcode ini akan menjadi pintu masuk ke rekening penampungan uang parkir Pemerintah kota. Pihak pemkot/pemkab perlu membuatkan barcode khusus yang bisa di-scan oleh semua moda pembayaran yang sering digunakan masyarakat saat ini. Setidaknya barcode tadi bisa dibaca oleh aplikasi OVO, DANA, GOPAY, LINKAJA dan lainnya.  Solusi ini sudah ada.  Operator Telkom meyediakan sistem bernama QREN (http://qren.tmoney.co.id) yang menjadi agregator semua moda pembayaran digital. Jadi, yang sudah terbiasa menggunakan OVO, DANA, GOPAY, LINKAJA, tidak perlu install apa apa lagi. Tinggal scan saja barcode itu untuk membayar parkir.

Membekali parkir dengan barcode tercetak.

Barcode ini dicetak dan dibawa oleh semua juru parkir.  Jadi, mulai sekarang, selain membawa peluit para juru parkir juga membawa gambar barcode sebesar KTP atau lebih besar lagi yang dikalungkan di leher tukang parkir untuk ditunjukkan ke pengendara. Kalau lebih gak mau repot, bisa dijahitkan ke punggung baju seragam. Jadi pengendara langsung scan barcode itu.

Pengendara melakukan scan barcode.

Scanning menggunakan aplikasi yang sudah tertanam di handphone masing masing. Bisa Gopay, Ovo, Dana, LinkAja, atau lainnya. Proses ini hanya membutuhkan waktu 2 detik. Langsung akan muncul bahwa barcode tersebut resmi milik pemkot. Kemudian, pengendara tinggal memasukkan PIN dan melakukan bayar seperti biasanya.  Selesai.

Jika ini dilakukan, maka pihak pemerintah kota bahkan bisa melihat hasil pemasukan dari lahan parkir secara real-time.  Ini jauh lebih baik daripada sistem yang sekarang hanya bisa borongan dan reporting satu bulanan. Pihak Dinas Perparkiran dan Dinas Pendapatan Daerah, akan bisa melakukan perbaikan dan monitoring setiap saat, jika terjadi keanehan dalam penerimaan pendapatan parkir ini.

Sebagai penutup, penulis menyarankan beberapa hal berikut :

Agar sistem ini diberlakukan di beberapa titik dulu sebagai pilot project. Misalnya di kawasan jalan protokol atau di titik titik ramai di tengah kota. Di titik ini diberlakukan dual system. Bisa tunai dan bisa nontunai. Tidak sekaligus nontunai, agar tidak menimbulkan kejutan/gejolak di masyarakat.

Ada insentif untuk pemakai parkir non-tunai (digital) ini. Jika tarif parkir resmi semisal Rp. 2000 untuk mobil, maka jika menggunakan non-tunai, bisa mendapatkan potongan 20%.  Hal ini lumrah dilakukan dalam dunia bisnis. Insentif selalu diberikan untuk merangsang orang agar mau berpindah menggunakan system baru yang kita ciptakan.  Ini bisa berlaku selama 6 bulan atau satu tahun, bergantung kajian lebih lanjut.

Semoga kita beralih ke system yang minim kebocoran ini, untuk tata kelola yang lebih baik.

 

TARYOKO, ST. MM,  Pemerhati sosial dan teknologi

Penulis : -
Editor   : edt