Asmara memang rahasia. Aku tak pernah menyadari bahwa kebersamaan kami selama ini pelan-pelan menumbuhkan sesuatu yang tidak biasa, yang tak aku pahami. Getar-getar yang membuat pembuluh darahku kencang mengalir ini sesungguhnya sesuatu yang salah, datang terlambat. Tapi, sungguh, aku tak mampu menghindarinya. Ketakmampuan yang membuatku seperti memberi jalan bagi hasrat ini untuk mendapatkan pemenuhannya. Pemenuhan yang selalu menggerinjali syaraf petualanganku.
Panggil aku Maya (34), ibu dari dua anak, Hasyim (6) dan Laila (3). Aku bekerja di sebuah BUMN, dan suami bekerja di sebuah bank swasta nasional. Hidup kami bahagia, tanpa pertengkaran berarti, dan anak-anak yang selalu menyenangkan di rumah. Nyaris, tak ada problema. Oh ya, kehidupan seksualku juga bagus. Jadi, tak ada alasanku untuk selingkuh, juga alasan suami untuk selingkuh. Kami sama percaya, kami saling mencinta.
Di kantor, aku punya rekan kerja yang selalu membantu, Wisnu (29), perjaka. Dia sangat baik, perhatian, dan nyaris seperti adik bagiku. Selain Wisnu, rekan terdekatku adalah Ratna (39), seniorku, tempatku curhat jika ada masalah. Dan, selama 6 tahun bekerja, kami menjadi tim yang kompak. Bukan saja urusan pekerjaan, tapi juga makan. Artinya, nyaris kami selalu bersama untuk keluar makan.
Wisnu ini tampan dan halus. Tubuhnya juga bagus. Dia sopan, dan sangat menyenangkan sebagai teman bicara. Ia memanggilku Mbak, dan aku hanya memanggil nama. Lima tahun dekat, tak ada sesuatu pun yang membuat pertemanan kami terganggu. Ia juga tahu suamiku, dan kadang, kalau ada acara kantor, menjadi teman main anak-anakku. Dia sudah seperti saudara. Begitulah mulanya.
Tapi, beberapa bulan lalu, aku merasakan sesuatu yang berbeda dari Wisnu. Kini, dia jadi sering sekali menatapiku, bahkan terkadang, menyentuh kepalaku dengan lembut saat berkata, atau menepuk pundakku. Ini sesuatu, sesuatu yang tidak pernah dia lakukan. Ya, sikapnya sangat mesra. Jika makan, ia akan berada di depanku, dengan mata yang selalu menatapiku. Aku sering risih atas perubahannnya itu. Tapi, tidak nyaman untuk mengatakannya. Dan, meski tidak berani berspekulasi, aku mulai menduga, dia ada hati denganku. Tapi, apa mungkin? Aku dengan anak dua, dan tidak lagi muda?
Dan kekhawatiranku terjawab dua bulan lalu. Saat kantor mengadakan acara di luar, suami dan anakku tak ikut serta. Jadilah aku berangkat sendiri. Dan kembali aku hanya bersama Wisnu dan Mbak Ratna, yang juga tak membawa anaknya. Yogya pun kami kelilingi bertiga. Dan malamnya, kami masih sempatkan berbincang di kamarku dan Mbak Ratna. Asyiik sekali kami berbincang, tapi kantuk mengalahkanku.
Aku tanpa sadar, tertidur. Dan, terbangun saat menyadari ada yang mengelus tubuhku di bagian dada. Kaget, tentu saja. Tapi, sebuah ciuman langsung hinggap di bibirku. Selanjutnya remasan dan gigitan. Aku melawan, dan bangkit. Cuma suaraku kukecilkan, takut Mbak Ratna terbangun.
Ya, lelaki yang mencoba menggumuliku itu memang Wisnu. Dia seperti tak sadar. Ketika aku berhasil menguasainya, dan menyeretnya ke pintu, sebelum pergi, dia sempat berkata begini, "Maafkan aku Mbak, tapi aku tidak kuat lagi menanggung perasaanku. Aku ingin kamu, sangat ingin kamu, Mbak."
Malam itu aku tak bisa tidur. Dan ketika Mbak Ratna aku bangunkan, dia ternyata tidak mengetahui yang terjadi. Katanya, dia tidur setelah Wisnu pergi, dan lupa mengunci pintu. Ohh, untunglah, aku masih dapat menjaga diri, masih suci. Tapi, ini ternyata bukan menjadi yang terakhir.
Setelah itu, di kantor Wisnu makin menjadi. Setiap ada kesempatan, ia akan memelukku, dan mencium. Ia juga mulai terang-terangan menunjukkan sikap sayangnya padaku. Berpapasan di WC merupakan sarana dia untuk menarikkanku ke pojok, dan menciumiku. Dan hanya berontakanku saja yang membuatku dapat bebas dari pelukan dan dekapannya. Tapi, tahukah pembaca: pelan-pelan aku mulai merasa menikmati ciuman dan pelukannya. Aku merasa sedikit bangga, lelaki setampan Wisnu mau denganku yang telah beranak dua. Hanya kesadaranku sebagai seorang istri yang membuatku masih bisa menjaga diri.
Namun, jika tiga bulan lalu aku selalu menolak dan mengancam akan berteriak tiap kali dia menarikkan tubuhku, kini teriakan itu tak ada lagi. Sungguh, entah apa yang terjadi, jika dia memanfaatkan kesempatan dengan mencumbuku, hanya suaraku saja yang menolak, tapi tubuhku tidak. Aku bahkan membalas ciuman dan pelukannya. Bahkan, kadang menunggu kapan dia melakukannya. Dan Wisnu menyadari itu.
Ya, seperti dia, aku juga mulai merasa suka.
Mungkin aku gila, mungkin aku hanya perempuan yang senang dipuja dan dimanja, mungkin aku telah tak setia, tak tahulah. Yang aku rasakan, aku cuma senang dengan semua perhatiannya, dengan semua kesabarannya, dan pujiannya. Meski, sejauh apa pun kami bercumbu, tak pernah aku sampai menyerahkan diriku kepadanya. Ya, aku menikmatinya. Tapi tidak pernah ada lelaki lain yang telah menjamahku utuh selain suamiku. Dan Wisnu yang tak pernah memperlakukanku lebih dari sekadar ciuman dan remasan, membuatku kian sayang padanya. Membuatku menaruh hormat, dan menghilangkan rasa was-was.
"Aku tidak akan melakukannya, jika Mbak tidak mengizinkannya..." begitulah dia selalu berkata.
Kini, telah tiga bulan aku "berpacaran" dengannya. Ya, berpacaran, dan rasanya, tak ada yang mengetahui hal itu. Mbak Ratna pun tidak curiga, karena kami memang masih dapat menjaga hal itu, dan berlaku seperti semula. Keakraban kami yang telah lama itulah yang membuat semua rekan memandang hal itu sebagai biasa. Biasa melihat kami makan bersama --dan meski harus mengajak Mbak Ratna-- atau melihat Wisnu mengantarku pulang dengan mobilnya. Meski, selalu saja di mobil itu kami saling memesrai diri.
Pembaca, jangan katakan aku tidak ingin bebas dari "siksaan" ini. Jangan anggap aku tidak lemas setiap kali pulang, dan melihat suamiku telah menunggu bersama anak-anak. Aku merasa salah, sungguh. Merasa berdosa, pasti. Dan selalu berjanji akan menolak Wisnu, akan menghentikan peluk-cumbu.
Tapi, tiap kali aku bertemu dia, selalu saja kata hatiku kalah. Selalu saja aku tahu, aku tak pernah mampu menolak Wisnu. Dan berulanglah. Hanya hubungan intim yang tidak pernah aku lakukan dengannya... Aku tak tahu lagi harus bagaimana menghadapi ini. Kadang, dilema ini membuatku merasa sesak napas, dan menangis.
Jadi, begitulah. Di rumah aku menjadi istri yang baik, di samping Wisnu aku pun dapat menjadi "Mbaknya" yang baik. Aku ingin lepas, ingin bebas dari dilema ini, tapi tak pernah tahu jalannya. Apa harus aku berhenti bekerja? Sungguhkah itu menyelesaikan masalah? Atau aku katakan pada suami? Tidakkah ini akan menjadi "neraka" dalam rumah tanggaku? Aku panik, aku bingung. Sementara, senyum Wisnu dan matanya yang kasih, selalu menungguku setiap hari.
Ahh--, simalakama ini, bagaimana aku menghadapi?
(Sebagaimana dituturkan Ibu Maya kepada Aulia)
Penulis : Administrator