Nunung, Narkoba, dan Pencegahan yang Abai

  • Opini Langit Bara-Lazuardi

SEPERTI korupsi, narkoba juga juga hal yang amat sulit ditangani di negeri ini. Selalu saja ada ''korban'' baru yang ditangkap polisi. Mulai artis sampai politisi, yang kelas berat atau kelas teri. Terakhir, Tri Retno Prayudati alias Nunung, komedian Srimulat yang kini bersinar di acara ''Ini Talkshow'' di NET TV, bersama suami keempatnya, Jan July Sambiran, ditangkap polisi di rumahnya dengan barang bukti 0,36 gram sabu.

Sebelumnya, Steve Emanuel juga tertangkap, dan kini tengah didakwa 9 tahun penjara karena kepemilikan sabu. Sebelumnya lagi Zul Zivilia, yang terancam hukuman mati, karena ditersangkakan sebagai pengedar. Atau Jufiter Fortissimo yang berkali-kali tertangkap, mengaku jera, lalu terciduk lagi. Ada juga Edo, mantan finalis Indonesian Idol, serta Caca, personel duo molek. Jika ditarik jauh ke belakang lagi, makin banyak nama ini.  

Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa tak ada efek jera pada mereka yang sudah mencandu, meski ancaman hukuman mati, seperti yang diterakan pada Steve dan Zul juga membayangi? Mengapa tak ada nalar bahwa narkoba bagaimanapun bukanlah jalan keluar melainkan masalah yang tak akan kelar.

Seperti korupsi, narkoba bak jamur di musim hujan: ditangkap satu, tumbuh seribu. Sampai muncul adagium, mendapatkan narkoba di negeri ini sama mudahnya dengan membeli air mineral. Indonesia, tampaknya, memang sudah lama menjadi surga bagi pengedar dan pecandu. Bahkan, saat Nunung ditangkap, BNN-Bea Cukai juga berhasil menggagalkan 38 kg sabu di Kaltara yang akan dikirim ke Samarinda. Bayangkan, 38 kg!

Banyak pihak pesimis terhadap penanganan narkoba di negeri ini, sama seperti korupsi. Sebabnya satu, aparat sangat sibuk pada upaya penindakan, dan bukan pencegahan. Padahal, selama pencegahan tidak menjadi langkah vital dan prioritas, maka sekuat apapun penindakan tidak akan memberikan dampak apapun. Selama pasokan narkoba terus mengalir, selama orang begitu gampang mendapatkannya, maka surga narkoba hanya persoalan waktu saja.

Tak heran jika Ombudsman mengkritik cara aparat menangani narkoba.  Anggota Ombudsman Ninik Rahayu menilai selama terus terjadi penangkapan dan pemenjaraan, maka akan terjadi penyesakan di lapas. Ninik menegaskan pentingnya upaya rehabilitasi sebagai jalan keluar dari korban narkoba.  Ninik menilai, penegak hukum mulai penyidik sampai penuntut dan hakim harus mengubah cara pemidanaan pengguna narkoba dengan menggunakan rehabilitasi secara sistemik. Hal ini karena pemenjaraan tidak manjur sebagai pemicu efek jera. Penjara yang kepenuhan dan sesak dari pengguna akan menjadi masalah tersendiri juga.

Memang, aspek penindakan lebih menarik dilakukan aparat untuk kasus narkoba dan korupsi. Sebabnya satu, kasus tertangkap tangan narkoba dan korupsi akan membuat prestise kerja terangkat, dan menjadi sorotan media. Penindakan membuat aparat secara nyata terlihat melakukan kerja. Beda dengan pencegahan, yang lebih merupakan ''jalan sunyi'', yang tidak seksi di mata media, dan dengan demikian, kurang tepuk tangan. Tapi, tanpa pencegahan, tanpa upaya preventif membentengi negara dari narkoba dan korupsi, maka segegap gempita apapun tepuk tangan, semua akan kembali pada kehampaan, kesia-siaan. **

 

Penulis : lbl
Editor   : awl