Birokrasi Kampus dan Wacana Rektor Asing

  • Opini Langit Bara lazuardi

IDE MENRISTEKDIKTI M Nasir soal akan menghadirkan rektor asing langsung memicu kontroversi. Berbagai pihak menganggap ide itu kebablasan. Beberapa rektor juga mempertanyakan urgensi dan mekanismenya, juga aturannya. Sedangkan politikus PKS Fahri Hamzah langsung menohok dengan mengatakan bahwa orang Indonesia pun berkualitas, dan mampu.

Sebenarnya, ide ini bukan barang baru. Sebelumnya, juga sudah lahir rencana agar badan usaha milik negara (BUMN) dikelola orang asing. Diharapkan, dengan manajemen orang asing, terjadi perlecutan prestasi, sehingga BUMN yang awalnya terseok dan merugi, dapat bangkit menjadi perusahaan kelas dunia.

Ide itu sebangun dengan rektor asing. Menristekdikti M Nasir juga bertujuan sama, untuk mendongkrak kampus-kampus agar masuk dalam kategori 100 kampus dunia. Dia ingin wajah pendidikan Indonesia berubah, kualitas meningkat, dan bersaing di kancah internasional. Meski tentu, seperti BUMN, harus ada aturan yang jelas kampus mana yang dapat dipimpin orang asing. Apakah yang berstatus berbadan hukum (PTNBH), layanan umum (PTNBLU), satuan kerja, atau PTN baru. 

Namun, langsung menolak wacana ini juga bukan hal yang baik. Seperti kata Nasir, batas-batas negara sekarang kian kabur. Banyak hal-hal yang telah berubah, menuju borderless. Dunia bergerak tanpa sekat, yang semula kompetisi menjadi kolaborasi. Tak ada lagi nasionalisme sempit. Kepentingan negara dan nasionalisme dirumuskan dengan cara-cara baru, seiring perkembangan dunia yang makin ''dempet''.

Kita tidak lagi bisa menghambat international mobility, ketika nasionalisme ''kalah'' oleh profesionalisme. Dunia, juga kampus, bukan lagi sesuatu yang dapat ''dipegang'' dan dikekang. Masalah yang penting justru menyiapkan kampus yang akan ''diberikan'' pada rektor asing itu. Di titik ini, faktor budaya akademik kampus harus menjadi titik perhatian utama.

Menjadi penting untuk melihat birokrasi kampus, kematangan budaya dan prinsip akedemik, sampai ekosistem yang sudah berakar di kampus sebagai modal wacana sebelum ide rektor asing itu diwujudkan. Memasukkan ''orang baru dan asing'' ke kultur birokrasi, prinsip akedemik dan ekosistem yang sudah baku akan membuat goncangan sistem daripada perlompatan mutu. 

Jangan sampai birokrasi dan kultur akademik menolak kebijakan ''tangan asing'' hanya karena ada perasaan ketakrelaan dipimpin oleh orang luar. Bahkan, jika pun diterima, akulturasi sistem, perubahan kultur dan birokrasi kampus akan memakan waktu lama, dan biasanya, rawan konflik.

Jadi, jika wacana ini akan diwujudkan, hanya ada satu jalan termudah, letakkan rektor asingitu di kampus baru, dan biarkan dia dan timnya, membangun kultur baru, birokrasi baru, sebagai tatanan ideal yang akan dicontohkan. Sesederhana itu.

Penulis : lbl
Editor   : awl