Menunggu Revisi UU Pilkada


Tahun 2020 akan digelar Pilkada Serentak di sejumlah daerah.  Perhelatan politik itu akan dilaksanakan di 20 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota.  Namun ada persoalan yang mengganjal terkait payung hukum pelaksanaannya.

Salah satunya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang mendorong adanya revisis UU Nomor 10 Tahun 2016 yang mengatur soal Pilkada. Peraturan tersebut harus disesuaikan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.  Pasalnya ada sejumlah pasal yang bertentangan di dua aturan itu.

Jika mengacu Pasal 1 ayat 7 UU Nomor 10 Tahun 2016, pelaksanaan pengawasan Pilkada di kabupaten/kota  adalah Panitia Pengawas yang ditunjuk oleh Bawaslu Provinsi. Sedangkan di UU Nomor 7 Tahun 2017 yang mengawasi pelaksanaan Pemilu di kabupaten/kota adalah Bawaslu.

Lembaga tersebut juga berhak menyelesaikan pelanggaran administratif terkait pemilu di daerah. Sedangkan Panitia Pengawas hanya memiliki kekuatan memberikan rekomendasi. Saat ini di kabupaten/kota tidak ada lembaga Panitia Pengawas. Karena sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017 di kabupaten/kota pengawasan Pemilu dilaksanakan oleh Bawaslu.

Tentunya perbedaan ini segera perlu disikapi oleh DPR. Pilkada Serentak tahun 2020 rencananya tahapannya akan dimulai pada April 2020.  Tentu sebelum proses tersebut dimulai, perlu ada revisi aturan. Sehingga tidak terjadi kebingungan di lembaga Pengawas Pemilu.

Undang-Undang Pilkada yang nantinya akan dijadikan payung hukum pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2020 tentu harus sesuai dengan UU Pemilu.   Aturan lain yang juga perlu disamakan adalah mengenai pendaftaran pemantau Pilkada. Jika mengacu UU Nomor 7 Tahun 2017 maka pendaftaran lembaga pemantau dilakukan melalui Bawaslu. Namun di UU Nomor 10 Tahun 2016 pendaftaran dilaksanakan melalui Komisi Pemilihan Umumk (KPU).

Aturan lain yang perlu dipertegas adalah agar di UU yang mengatur soal Pilkada tidak memberikan celah atau kesempatan kepada eks koruptor untuk bisa mencalonkan diri kembali sebagai kepala daerah. Di UU Nomor 7 Tahun 2017, eks koruptor bisa mencalonkan diri lagi sebagai anggota legislatif.  Makanya perlu ada ketegasan melalui revisi UU Pilkada terkait eks koruptor tersebut agar tak lagi bisa mencalonkan di Pilkada.

Pertanyaannya apakah waktunya memungkinkan untuk dilakukan revisi.  Semua tentu tergantung niatan antara pemerintah dan DPR. Kedua institusi itu harus pro aktif untuk mendorong revisi UU Pilkada secepatnya.  Anggota DPR periode 2014-2019 akan mengakhiri masa jabatannya pada Oktober mendatang.  Sisa waktu dua bulan sangat memungkinkan agar revisi bisa dilakukan.

Atau presiden juga bisa mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) pengganti Undang-Undang untuk mengatur sejumlah pasal di UU Pilkada yang sudah tidak relevan lagi.  Dengan demikian diharapkan pada saatnya nanti pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2020 bisa berjalan dengan aturan hukum yang sudah baku dan tidak menimbulkan banyak celah.

Kita berharap DPR yang merupakan representasi dari parpol yang notabene juga adalah peserta kontestasi Pilkada Serentak tahun 2020 bisa segera tanggap. Selepas kegiatan Agustus dan masa reses mereka bisa segera melakukan persiapan untuk membahas revisi UU Pilkada.  Kita yakin dengan adanya kemauan politik, revisi UU Pilkada merupakan sebuah keniscayaan.

Penulis : Joko Santoso
Editor   : edt