Kepala Pusat Data dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho telah meninggal dunia pada Minggu (7/7) di Guangzhou, China. Ia ''kalah'' melawan kanker paru yang telah lama menggelayuti tubuhnya. Tapi, pada sosok yang selalu tampil rapi itu kita justru melihat bukan pria yang sakit, melainkan petarung, yang menertawai sakitnya, dan menganggap bukan alasan untuk berkilah/
Maka, yang tampil di benak kita adalah Sutopo yang selalu bersikap positif dan optimistis, yang mengutamakan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri. Ia, nyaris tak pernah membicarakan dirinya, profilnya, tapi lebih kepada tugasnya sebagai humas sekaligus pusat data penanggulangan kebencanaan. Ia selalu memberi arah, harapan, dan validitas dari tiap hal yang dia ungkapkan terkait tugasnya.
"Bagi insan jurnalis, sosok Kepala Pusat Data dan Humas BNPB, merupakan figur nomor satu yang paling dicari saat terjadi musibah bencana di seluruh tanah air. Almarhum menjadi salah satu sumber informasi yang paling dinantikan oleh para jurnalis terkait berbagai bencana," kata Ketua Dewan Pertimbangan IJTI Imam Wahyudi.
Sutopo memberikan sebuah contoh bahwa melayani publik adalah sebuah amanah dan sekaligus berkah. Karena itu tak boleh dijadikan keluhan atau sambatan. Bahkan ketika tahu bahwa kanker telah menjangkitinya di awal 2017, dia menerima hal itu sebagai ''kewajaran''. Dia acap berkata, ''Hidup itu bukan soal panjang usia, tetapi seberapa besar kita dapat membantu orang lain, memberi manfaat bagi sesama''. Sebuah frasa yang kemudian menjadi identik dengan dirinya.
Karakter Sutopo adalah eksemplar dari pejabat publik, seseorang yang dengan sadar mewakafkan dirinya, waktunya, untuk kepentingan publik. Sebagai wakil publik, Sutopo seakan tak pernah ada waktu untuk dirinya. Dalam tiap kebencanaan, dia hadir sebagai suara tenang. Dia memberi keyakinan tentang sesuatu yang bisa dikendalikan, tentang peluang, tentang bagaimana menyulam kebersamaan. Di hadapan bencana, ketika ada Sutopo, kita mendapatkan gambaran bahwa masyarakat tidak sendirian, bahwa negara hadir, dan ada perencanaan untuk kehidupan ke depan.
Sutopo adalah suar dan suara. Adalah pelita. Juga cahaya. Dan kegigihan.
Ia memang kalah. Tapi dia bukan menyerah, apalagi takluk. Dia hadapi kanker itu sebagai kebencanaan, sesuatu yang jika datang harus dikelola, dengan ketenangan, dan terus memupuk harapan.
Sutopo memberi tahu kita bahwa hidup ini bukan soal kalah atau menang. Tapi keberartian, kebermaknaan bagi banyak orang, sebelum pada akhirnya kita mengatakan ''ya'' pada sang maut. Di pemakamannya, banyak orang bersaksi bahwa dia adalah orang baik, adalah sosok yang ketika masih hidup dan mati, selalu memberi arti.
Penulis : lbl , -
Editor : awl