Koalisi dan Jatah Menteri


(Foto :Dok Blitar Times)

Konsolidasi internal yang dilakukan Jokowi setelah menang di Pilpres 2019 terus dilakukan. Termasuk dengan parpol yang mengusung dan mendukungnya di perhelatan politik lima tahunan tersebut. Salah satu yang menjadi pokok pembahasan adalah bagaimana persiapan pembentukan cabinet.

Dari berbagai statemen yang disampaikan pimpinan parpol pendukung, arahnya sama. Mereka sudah mempersiapkan nama-nama yang akan dijagokan menjadi menteri di kabinet Jokowi-Maaruf Amin yang akan dilantik  20 Oktober mendatang.

Bahkan beberapa partai sudah mematok jumlah kursi serta posisi menteri apa yang diharapkan.  Mereka menganggap kerja keras di Pilpres akan berimbas pada posisi menteri bagi sejumlah kader atau pengurus parpol pengusung tersebut.

Dalam politik memang identik dengan siapa mendapatkan apa.  Wajar apabila parpol pendukung mengharapkan atau bahkan menginginkan kursi Menteri. Karena mereka sudah bekerja keras untuk memenangkan pasangan calon yang didukungnya.

Di lain pihak sesuai aturan Undang-Undang Dasar 1945, menteri adalah pembantu presiden. Sesuai aturan tentu presiden memiliki hak prerogratif untuk menentukan nama-nama yang dianggan pas menduduki kursi menteri.

Ungkapan bijak disampaikan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Menurutnya  soal menteri itu merupakan hak prerogratif Jokowi. Mega menceritakan ketika dirinya menjadi presiden, juga melakukan hal demikian. Menurut Mega jika yang duduk sebagai menteri bukan orang-orang yang diinginkan presiden, bukankah pemerintahan tidak akan berjalan dengan baik.

Mega juga menyampaikan bahwa  menjadi menteri bukan untuk mejeng saja. Dari pernyataan itu semakin menegaskan bahwa posisi menteri adalah wewenang Jokowi.  Namun sah sah saja juga apabila parpol berharap termasuk menyodorkan nama nama kadernya sebagai kandidat menteri.

Yang terpenting semua pimpinan parpol pengusung memahami bahwa usulan mereka tentu harus berdasarkan obyektifitas. Termasuk nama-nama yang diusulkan juga harus memiliki kapasitas dan kapabilitas yang memadai. Jangan dipaksa presiden memilih nama yang tidak memiliki kapasitas sebagai menteri.

Wacana perbincangan mengenai usulan nama termasuk komposisi menteri di pemerintahan kedua Jokowi lebih baik dilakukan terbuka. Soal dikotomi antara nama dari kalangan parpol atau non parpol yang belakangan juga mengemuka tak perlu dibesar-besarkan.  Tidak persoalan menteri mau dari kalangan parpol atau non parpol. Yang terpenting mereka memiliki kapasitas untuk jabatan tersebut.

Tugas Jokowi di pemerintahannya yang kedua ini berat. Oleh karena itu Jokowi perlu disokong oleh menteri-menteri yang bisa bekerja keras. Jangan sampai menteri tidak melakukan apa-apa.  Perlu ada kesadaran dari parpol pendukung. Agar kendati mereka mengusulkan nama terkait jatah menteri, nama yang mereka munculkan adalah nama yang memang memiliki kemampuan mumpuni sebagai menteri.

JIka tidak penentuan menteri bisa dianggap hanya bagian dari demokrasi transaksional dan politik bagi-bagi jabatan. Di tengah berbagai persoalan bangsa yang membelit, dan membutuhkan orang-orang bertangan dingin untuk menyelesaikannya, tak elok apabila jatah menteri hanya menjadi bagian politik transaksional.  Kita menginginkan menteri yang memiliki integritas dan kemampuan handal. Untuk membawa Indonesia lebih maju tentunya.

Penulis : Joko Santoso
Editor   : edt